Newyork – Lebih dari satu bulan setelah Presiden AS Donald Trump memulai masa jabatannya yang kedua, kebijakan kerasnya terhadap imigrasi dan pencari suaka telah membawa dampak buruk bagi banyak orang. Operasi penegakan hukum yang dilakukan di seluruh Amerika Serikat telah mengakibatkan penahanan massal, deportasi puluhan ribu orang, dan menyekat jalur suaka bagi ribuan lainnya. Namun, di tengah serangan ini, sebuah undang-undang yang baru diajukan di Kongres bisa menjadi kunci untuk mengubah arah kebijakan diskriminatif ini. pada 6 Februari oleh Perwakilan Judy Chu dan Senator Chris Coons, berusaha membatasi kekuasaan Presiden dalam menerapkan larangan perjalanan yang diskriminatif. Undang-undang ini memiliki potensi untuk menghentikan kebijakan yang membatasi imigrasi berdasarkan agama, kewarganegaraan, atau latar belakang etnis, yang pernah dikeluarkan oleh Trump pada masa pemerintahan pertama. Hal ini sangat penting karena ada kekhawatiran bahwa Trump akan menghidupkan kembali larangan Muslim dan Afrika yang kontroversial dari periode pertama pemerintahannya.
Namun, dengan adanya NO BAN Act, segala upaya yang mengarah pada kebijakan semacam ini dapat dibatasi. Undang-undang ini tidak hanya melarang diskriminasi berdasarkan agama, tetapi juga mengharuskan setiap larangan perjalanan yang diberlakukan harus didasarkan pada fakta yang jelas dan terverifikasi. Ini akan membatasi ruang gerak presiden dalam menggunakan kekuasaannya untuk menutup perbatasan secara sepihak berdasarkan kebencian atau ketakutan.
Seiring dengan berbagai bencana kemanusiaan yang melanda dunia, langkah-langkah yang diambil hari ini dapat menentukan nasib jutaan orang. Ini adalah saat yang tepat bagi para pembuat kebijakan untuk berdiri teguh demi nilai-nilai kebebasan beragama dan perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari penindasan. NO BAN Act adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak akan tunduk pada kebijakan kebencian dan rasisme, dan lebih memilih untuk melindungi mereka yang paling rentan. Undang-undang ini harus disahkan untuk masa depan yang lebih adil dan manusiawi.
Suspensi Masuknya Imigran dari Negara-negara Mayoritas Muslim
Perintah eksekutif ini menangguhkan sementara (selama 90 hari) kedatangan imigran dan non-imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim, termasuk Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Ini adalah langkah pertama yang memicu kontroversi besar, yang menuduhnya sebagai kebijakan diskriminatif dan tidak sah. Selain itu, perintah ini juga menyetop kedatangan pengungsi Suriah secara permanen dan mengurangi jumlah pengungsi yang diterima oleh AS pada tahun 2017 hanya menjadi 50.000 orang—sebuah penurunan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Penangguhan Program Pengungsi AS
Tidak berhenti di situ, perintah ini juga menangguhkan sementara Program Penerimaan Pengungsi AS (USRAP) selama 120 hari, yang berarti proses penerimaan pengungsi dihentikan total untuk waktu yang cukup lama. Langkah ini memperburuk krisis pengungsi global dan menyebabkan penundaan serta kebingungan di antara mereka yang sangat membutuhkan perlindungan internasional.
Dampak Langsung dan Kontroversi yang Timbul
Pelaksanaan perintah ini menyebabkan lebih dari 700 pelancong ditahan di bandara, dan hingga 60.000 visa “sementara dibatalkan”. Kekacauan ini meluas ke seluruh dunia, dengan protes besar yang meletus di bandara-bandara AS. Di sisi hukum, berbagai gugatan diajukan di pengadilan federal menantang konstitusionalitas perintah tersebut. Hal ini menciptakan jurang pemisah yang lebih dalam antara kebijakan pemerintah dan hak-hak individu, menambah ketidakpastian hukum di negara yang dikenal sebagai simbol kebebasan.
Laporan yang Diharapkan dari Kejaksaan Agung dan Direktur Intelijen Nasional
Menyusul ketegangan ini, Kejaksaan Agung dan Direktur Intelijen Nasional AS diharapkan mengajukan laporan bersama kepada Kongres pada 21 Maret 2025. Laporan ini akan mencakup analisis mengenai negara-negara yang dianggap memiliki kelemahan signifikan dalam proses pemeriksaan imigrasi, yang mungkin memerlukan penangguhan sebagian atau sepenuhnya atas penerimaan warga negara dari negara-negara tersebut. Selain itu, laporan ini juga akan mengidentifikasi berapa banyak warga negara dari negara-negara tersebut yang sudah masuk atau diterima di AS sejak 20 Januari 2021. Langkah ini bertujuan untuk memberi kejelasan dan transparansi terkait kebijakan imigrasi yang sangat berisiko ini.
Perintah eksekutif Trump ini telah membuktikan betapa kebijakan imigrasi dapat berimbas jauh melampaui perbatasan negara, menimbulkan ketegangan global yang melibatkan ribuan nyawa yang tergantung pada keputusan-keputusan politik yang sangat besar. Kini, dunia menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah AS untuk memastikan kebijakan imigrasi yang lebih manusiawi dan adil, sambil menjaga kepentingan keamanan nasional yang sah.(YA)