Trump: Warga dari 41 Negara Bakal Dilarang Masuk AS. Indonesia Termasuk?

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump tengah mempertimbangkan kebijakan baru yang akan membatasi perjalanan bagi warga dari puluhan negara sebagai bagian dari strategi imigrasi yang lebih ketat.

Mengutip Reuters, Sabtu (15/3/2025), sebuah memo mencantumkan 41 negara yang dibagi menjadi tiga kategori dengan tingkat pembatasan yang berbeda.

Kategori Pembatasan Perjalanan

Penangguhan Visa Penuh Sepuluh negara, termasuk Afghanistan, Iran, Suriah, Kuba, dan Korea Utara, akan menghadapi larangan total terhadap penerbitan visa AS.

Penangguhan Visa Sebagian Lima negara—Eritrea, Haiti, Laos, Myanmar, dan Sudan Selatan—akan mengalami pembatasan pada visa turis, pelajar, dan imigran, dengan beberapa pengecualian.

Evaluasi Penangguhan Visa Sebanyak 26 negara, termasuk Belarus, Pakistan, dan Turkmenistan, dapat menghadapi penangguhan sebagian penerbitan visa jika dalam 60 hari mereka tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh AS.

Laporan The New York Times menyebut bahwa kebijakan ini merupakan kelanjutan dari larangan perjalanan yang pertama kali diterapkan Trump pada masa jabatannya sebelumnya. Setelah mengalami tantangan hukum, Mahkamah Agung AS akhirnya mengesahkan revisi kebijakan tersebut pada 2018.

Saat Joe Biden menjabat, larangan ini dicabut dengan alasan diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai Amerika. Namun, dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, kebijakan tersebut kembali menjadi prioritas utama dalam agenda imigrasi.

Pemerintah AS beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melindungi keamanan nasional. Namun, banyak pihak mengkritik langkah ini sebagai bentuk diskriminasi yang dapat memperburuk hubungan diplomatik dengan negara-negara terdampak.

Dalam beberapa hari ke depan, laporan final mengenai daftar negara yang terkena pembatasan akan dikirimkan ke Gedung Putih untuk ditinjau sebelum kebijakan resmi diberlakukan. Seorang pejabat AS menyatakan bahwa daftar tersebut masih dapat berubah dan belum mendapat persetujuan akhir dari pemerintahan Trump, termasuk Menteri Luar Negeri Marco Rubio. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *