Gebrakan Prabowo Hapus Kuota Impor: Reformasi Dagang atau Ancaman Baru bagi Produsen Lokal?

Oleh: E Priyono

LANGKAH Presiden Prabowo Subianto dalam menghapus sistem kuota impor, terutama untuk komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, patut mendapat apresiasi tinggi. Ini bukan sekadar keputusan teknis administratif, melainkan sebuah terobosan struktural dalam tata kelola perdagangan nasional.

Seperti diketahui, sejumlah komoditas penting seperti beras, gula, bawang putih, garam, daging, dan susu hingga kini masih bergantung pada pasokan luar negeri. Dalam kondisi seperti itu, sistem kuota impor justru sering kali memperburuk situasi—alih-alih menjamin ketercukupan dan keadilan distribusi, mekanisme ini lebih sering menjadi sarang praktik monopoli dan kartel.

Kebijakan kuota kerap dimanfaatkan oleh segelintir pelaku usaha yang mendapat “jatah istimewa”, sementara pelaku usaha lainnya—yang punya kapasitas dan kemampuan bersaing—terpinggirkan karena terkendala regulasi yang kaku, diskriminatif, dan tidak transparan. Akibatnya, ekosistem perdagangan menjadi tidak sehat, dan konsumen harus menanggung harga yang tidak efisien.

Dengan menghapus kuota, Prabowo menunjukkan sikap tegas terhadap sistem yang dianggap usang dan timpang. Dalam pernyataannya pada Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Jakarta, Presiden menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang mampu dan bersedia mengimpor diberikan kesempatan yang sama, tanpa lagi ada praktik “tunjuk-menunjuk” siapa yang boleh dan tidak boleh.

Langkah ini tentu menghembuskan angin segar bagi para pelaku usaha yang selama ini tidak punya akses. Terbukanya pintu impor secara adil bisa menjadi alat untuk menurunkan harga, memperbaiki rantai pasok, dan meningkatkan efisiensi logistik nasional. Di sisi lain, ini juga menjadi cermin keberpihakan Presiden pada semangat transparansi dan pemerataan.

Namun, apresiasi terhadap langkah progresif ini tidak boleh membutakan kita dari potensi dampak negatifnya. Pembukaan keran impor tanpa sistem pengawasan dan kontrol yang kuat bisa berdampak buruk pada industri dalam negeri. Sektor pertanian, peternakan, dan UMKM yang belum sepenuhnya siap bersaing secara global bisa menjadi korban pertama.

Produk impor yang lebih murah dan masif bisa membanjiri pasar lokal, menekan harga, dan menggerus daya saing produsen dalam negeri. Jika ini terjadi, maka kebijakan yang niat awalnya untuk reformasi bisa menjadi bumerang yang justru merusak ekosistem produksi nasional.

Maka, kunci dari keberhasilan kebijakan ini terletak pada implementasinya. Pemerintah harus merancang sistem pengendalian yang terukur dan cerdas. Digitalisasi tata niaga, transparansi logistik, penyederhanaan izin berbasis teknologi informasi, serta pemberian insentif bagi produsen lokal adalah beberapa hal yang harus segera diwujudkan. Selain itu, perlindungan terhadap sektor strategis tetap harus menjadi prioritas dalam desain kebijakan jangka panjang.

Dalam semangat reformasi yang digelorakan Presiden, kita berharap bahwa ini benar-benar menjadi awal dari era perdagangan nasional yang lebih sehat, kompetitif, dan inklusif.  Niat baik harus diikuti dengan pelaksanaan yang konsisten dan keberanian untuk melawan godaan kepentingan.

Presiden telah menggebrak. Kini, satnya kita lihat bagaimana birokrasi menjalankan arahan tersebut. Apakah ini akan menjadi titik balik dalam perbaikan tata niaga nasional, atau sekadar gebrakan politik yang kehilangan tenaga di tengah jalan? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *