Tokyo, Jepang – Jepang siap menyambut pemimpin barunya, seorang perempuan yang dikenal sebagai “noisemaker” dengan pandangan politik yang keras dan tegas.
Dalam pertarungan yang didominasi kaum pria, Sanae Takaichi keluar sebagai pemenang, mengejutkan banyak pihak, dan kini berada siap menjadi Perdana Menteri wanita pertama dalam sejarah Jepang.
Kemenangannya, yang terinspirasi oleh idolanya, mantan pemimpin Inggris Margaret Thatcher, dijuluki sebagai pukulan telak terhadap “plafon kaca” (glass ceiling), yang telah lama membatasi peran perempuan di ranah politik Jepang.

Namun, kemenangan ini bukan tanpa resiko. Analis politik memprediksi kebijakan ekonomi dan nasionalismenya bisa memicu gejolak, baik di dalam negeri maupun dengan negara tetangga kuat seperti Tiongkok.
Pengagum Thatcher ke Pemimpin Jepang
Takaichi, seorang mantan Menteri Keamanan Ekonomi dan Dalam Negeri, tak pernah menyembunyikan kekagumannya pada sosok Margaret Thatcher, yang dikenal sebagai “Wanita Besi”.
“Saya merasa pekerjaan yang sulit baru saja dimulai di sini, bukan malah merasa senang,” kata Takaichi dalam pidatonya kepada rekan-rekan anggota parlemen LDP setelah kemenangannya.
Ia bahkan pernah bertemu dengan Thatcher di sebuah simposium sebelum kematiannya pada 2013 lalu, dan menyebut Thatcher sebagai sumber inspirasi karena karakter dan keyakinannya yang kuat, dibalut dengan “kehangatan femininnya.”
Seorang penabuh drum dan penggemar musik heavy metal, Takaichi juga dikenal karena sering “membuat kebisingan” politiknya sendiri.
Ia adalah sosok yang rutin mengunjungi Kuil Yasukuni, yang menghormati para pahlawan perang Jepang termasuk beberapa penjahat perang, dan sering dianggap sebagai simbol militerisme masa lalu Jepang oleh beberapa negara Asia.
Gelombang Kejut Abenomics & Taiwan
Kemenangan Takaichi diperkirakan akan memicu perubahan drastis, terutama dalam hal kebijakan ekonomi.
Sebagai anak didik mantan Perdana Menteri Shinzo Abe dan pendukung lama kebijakan stimulus “Abenomics,” Takaichi menyerukan peningkatan belanja dan pemotongan pajak, untuk meredam biaya hidup yang terus meningkat.

Namun, posisi politiknya yang konservatif juga menimbulkan kontroversi. Takaichi menentang pernikahan sesama jenis, dan pengesahan nama keluarga yang berbeda bagi pasangan menikah,
Isu-isu itu sebenarnya mendapat dukungan luas dari publik Jepang, tetapi menghadapi oposisi kuat dari kalangan konservatif.
Lebih lanjut, pandangan nasionalismenya yang kuat bisa menimbulkan gesekan diplomatik. Takaichi mendukung revisi konstitusi pasifis Jepang, untuk mengakui peran militernya yang terus berkembang.
Baru-baru ini, ia bahkan mengusulkan agar Jepang dapat membentuk “aliansi keamanan” dengan Taiwan, pulau yang diklaim oleh China.
Kemenangan ini, meski mengejutkan, menandai babak baru bagi politik Jepang yang selama ini didominasi oleh laki-laki. (YA)





