Skandal Masahiro Nakai: Titik Balik bagi Hak Perempuan di Jepang.

Jepang – Industri hiburan Jepang diguncang skandal yang menjatuhkan salah satu selebritas paling populer dan mengancam eksistensi salah satu jaringan televisi terbesar di negara itu. Namun, banyak yang percaya bahwa kasus ini juga menandai perubahan cara pandang masyarakat Jepang terhadap kasus kekerasan seksual, sebuah isu yang selama ini sering membuat korban memilih bungkam.

Di pusat skandal ini adalah Masahiro Nakai, mantan anggota boy band SMAP dan pembawa acara ternama di Fuji TV. Nakai dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan dalam sebuah jamuan makan malam pada tahun 2023. Meski tidak mengakui kesalahannya, ia meminta maaf karena telah “menimbulkan masalah” dan menyelesaikan kasus ini melalui kompensasi finansial senilai lebih dari setengah juta dolar. Namun, di tengah kemarahan publik yang terus membesar, Nakai mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia hiburan pada Januari 2025.

Dampak dari skandal ini meluas ke Fuji TV, yang kini menghadapi kehancuran reputasi dan kehilangan kepercayaan publik. Perusahaan-perusahaan besar seperti Nissan dan Toyota menarik iklan mereka, sementara beberapa eksekutif puncak Fuji TV mengundurkan diri setelah diketahui bahwa stasiun televisi tersebut tetap mempertahankan Nakai meski sudah mengetahui tuduhan terhadapnya.

Bagi aktivis hak perempuan, reaksi cepat dari sponsor dan publik terhadap skandal ini merupakan momentum penting bagi gerakan #MeToo di Jepang. Selama ini, kekerasan seksual terhadap perempuan di Jepang sering diselimuti budaya diam, dimana korban enggan berbicara karena rasa malu dan stigma sosial. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70% kasus kekerasan seksual di Jepang tidak dilaporkan, dan dari 1.000 kasus pemerkosaan hanya 10-20 yang berujung pada hukuman.

Menurut Keiko Kojima, mantan presenter TV yang kini menjadi komentator media, industri hiburan Jepang selama ini memiliki budaya impunitas, dimana perempuan muda harus bertahan dalam lingkungan yang sarat dengan pelecehan demi mempertahankan karier mereka. Sementara itu, akademisi Machiko Osawa menyoroti ketimpangan gender yang masih sangat kuat di Jepang, di mana perempuan masih dipandang sebagai “penjaga rumah tangga” sementara laki-laki sebagai “pencari nafkah utama.”

Skandal Fuji TV bukanlah kasus pertama yang mengguncang Jepang. Sebelumnya, kasus pelecehan seksual oleh taipan hiburan Johnny Kitagawa juga menyoroti perlindungan yang diberikan industri terhadap pelaku kekerasan seksual. Selain itu, jurnalis Shiori Ito menjadi simbol gerakan #MeToo Jepang setelah secara terbuka mengungkap pemerkosaan yang dialaminya oleh seorang senior di industri media.

Kini, masyarakat Jepang mulai menyadari bahwa berbicara tentang pelecehan seksual bukanlah hal yang tabu. Namun, banyak yang menilai perubahan masih berjalan lambat. “Ini adalah waktu yang penting… Tapi belum jelas seberapa besar perubahan yang akan terjadi,” kata Profesor Osawa.

Di tengah harapan akan perubahan, Minori Kithara, pendiri gerakan Flower Demo—sebuah aksi bulanan bagi korban kekerasan seksual dan pendukungnya—mengungkapkan keprihatinannya. “Saya berharap suatu hari nanti saya tidak perlu lagi turun ke jalan untuk berdemo,” ujarnya. Namun, untuk saat ini, perjuangan masih jauh dari selesai. (YA)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *