Washington D.C – Sebuah laporan eksklusif yang dirilis oleh Quincy Institute for Responsible Statecraft dan Costs of War Project dari Universitas Brown menyingkap data mencengangkan: dari tahun 2020 hingga 2024, Pentagon Departemen Pertahanan Amerika Serikat telah mengucurkan lebih dari $2,4 triliun (setara Rp39.000 triliun) kepada perusahaan-perusahaan senjata swasta.
Laporan ini diperoleh dan dipublikasikan secara eksklusif oleh The Guardian. Fakta ini menimbulkan satu pertanyaan besar: apakah uang publik ini benar-benar digunakan demi keamanan nasional, atau lebih banyak menguntungkan segelintir korporasi besar?
Transfer Kekayaan dari Pajak ke Kontraktor
Data dalam laporan menyebutkan:
- Dari total anggaran diskresioner Pentagon sebesar $4,4 triliun, sekitar 54% mengalir ke perusahaan swasta.
- Lima kontraktor terbesar Lockheed Martin, Raytheon, Boeing, General Dynamics, dan Northrop Grumman mendapatkan kontrak senilai $771 miliar dalam kurun empat tahun.
- Tambahan anggaran dari RUU “One Big Beautiful Bill Act” yang disahkan semasa pemerintahan Trump memberikan lonjakan $157 miliar ke anggaran Pentagon.

Menurut Stephanie Savell, Direktur Costs of War Project, “Angka-angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar uang rakyat Amerika digunakan untuk mendanai perang dan produksi senjata, bukan untuk kesejahteraan publik.”
Retorika Pemotongan Anggaran yang Tak Terbukti
Menariknya, Donald Trump, pada Februari 2024 sempat mengklaim bahwa dirinya akan memotong anggaran militer hingga setengahnya, bahkan menyebut tidak perlunya Amerika menghabiskan hampir $1 triliun per tahun untuk militer.
Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Di bawah kepemimpinannya, justru disahkan anggaran terbesar sepanjang sejarah Pentagon, mendorong pengeluaran militer tahunan melampaui $1 triliun sebuah angka yang belum pernah tercapai sebelumnya.
Bukan Lagi “Untuk Pasukan”
Salah satu narasi yang kerap digunakan untuk membenarkan tingginya anggaran militer adalah bahwa dana itu “untuk tentara”.
Namun, William D. Hartung, peneliti senior di Quincy Institute, membantahnya.
“Sebagian besar anggaran itu tidak benar-benar untuk pasukan, tapi untuk perusahaan. Uang ini lebih banyak berkaitan dengan lobi kepentingan dan bisnis senjata, bukan perencanaan pertahanan yang rasional,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa banyak dana yang dihabiskan pada sistem senjata yang tidak efisien, mahal, bahkan tidak berfungsi optimal.
Peran Teknologi dan Perusahaan Start-Up Militer
Selain raksasa pertahanan tradisional, laporan ini juga menyoroti munculnya pemain baru dari sektor teknologi, seperti:
- SpaceX
- Palantir
- Anduril
Perusahaan-perusahaan ini kini menjadi bagian dari ekosistem militer AS yang berkembang pesat. Mereka memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Trump dan mendapatkan kontrak-kontrak strategis untuk pengembangan teknologi perang masa depan, termasuk kecerdasan buatan, pengawasan, dan drone.
Diplomasi dan Bantuan Kemanusiaan Dikesampingkan

Yang paling mencolok dari laporan ini adalah kontras antara pengeluaran militer dan dana untuk diplomasi atau bantuan kemanusiaan.
Sejak 2000, anggaran militer AS telah meningkat 99%, sementara diplomasi, pembangunan, dan bantuan kemanusiaan hanya mendapat alokasi sekitar $356 miliar jauh lebih kecil dari $2,4 triliun yang mengalir ke industri pertahanan.
Bahkan, pemerintahan Trump disebut secara aktif melakukan pemangkasan dana bantuan luar negeri, termasuk program promosi demokrasi dan hak asasi manusia.
Narasi “Musuh Global” yang Terus Digulirkan
Meski perang di Afghanistan telah berakhir, pengeluaran militer tetap melonjak. Kini, narasi ancaman bergeser:
- Dari “perang melawan teror” pasca-9/11,
- ke “kompetisi strategis melawan Tiongkok“,
- serta dukungan besar untuk Israel dan Ukraina dalam bentuk penjualan senjata dan bantuan militer.
Ini menunjukkan bahwa meskipun konteks berubah, alasan untuk mempertahankan anggaran besar tetap diciptakan.
Siapa yang Diuntungkan?
Laporan ini bukan sekadar rangkaian angka. Ini adalah cermin dari bagaimana kebijakan anggaran negara adidaya dunia digunakan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang ditinggalkan.
Saat publik Amerika menghadapi kenaikan harga bahan pokok, biaya kesehatan, dan utang pendidikan yang membengkak, triliunan dolar justru mengalir deras ke perusahaan-perusahaan yang memproduksi alat perang.
“Ini bukan tentang keamanan nasional. Ini tentang bisnis besar dan laba besar,” simpul Savell. Direktur Costs of War Project (YA)





