Jakarta – PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA dilaporkan mengalami gagal bayar atas pembayaran pokok surat utangnya, yang memicu penurunan peringkat kredit oleh lembaga pemeringkat independen.
Kondisi ini membuat PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menurunkan peringkat utang WIKA sebanyak dua kali, dalam sepekan terakhir.
Hingga 11 April 2025, Pefindo resmi mengkategorikan WIKA ke dalam status “Selective Default”, usai sebelumnya sempat berada di peringkat CCC dengan status Credit Watch with Negative (CWN).
Kepala Divisi Pemeringkatan Non-Jasa Keuangan 2 Pefindo, Yogie Surya Perdana, menjelaskan bahwa penurunan ini merupakan dampak langsung dari gagal bayar WIKA atas kewajiban pokok surat utangnya. Ini menunjukkan tekanan serius terhadap arus kas dan kesehatan keuangan emiten pelat merah tersebut.
“Peringkatnya kami kembali koreksi atau kami revisi dari sebelumnya CCC, menjadi selektif default atau gagal bayar, ya,” kata Yogie.
Di tengah kabar buruk tersebut, kabar baik datang dari anak usaha PT PP, yakni PT PP Properti Tbk (PPRO).
Perusahaan yang sebelumnya juga berada dalam status “Selective Default” kini berhasil mengangkat peringkat kreditnya menjadi CCC dengan outlook stabil, berkat tercapainya kesepakatan homologasi dengan seluruh kreditur melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Langkah ini dinilai sebagai sinyal positif bahwa proses restrukturisasi berjalan dengan baik, dan kreditor memberikan ruang pemulihan bagi perusahaan.
Sebagai dampak dari dinamika keuangan tersebut, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan suspensi terhadap perdagangan saham WIKA.
Saat dibuka kembali, saham perusahaan itu tercatat di level Rp204 per saham, dengan kapitalisasi pasar yang menyusut menjadi Rp8,13 triliun.
Fenomena gagal bayar juga terjadi di tengah lonjakan penerbitan surat utang korporasi yang cukup signifikan. Pefindo mencatat, hingga akhir Maret 2025, total emisi surat utang mencapai Rp46,75 triliun, naik 77% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp26,35 triliun.
Menurut Suhindarto, Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, lonjakan ini merupakan bagian dari strategi refinancing korporasi guna menghadapi gelombang jatuh tempo obligasi sebesar Rp161,21 triliun sepanjang tahun ini.
Sebagian besar obligasi tersebut merupakan hasil penerbitan jangka pendek pada tahun sebelumnya, dan kini harus ditebus atau digulirkan ulang untuk menjaga kelangsungan likuiditas perusahaan.
Peningkatan aktivitas refinancing dinilai menjadi respons korporasi terhadap kondisi makro yang masih dibayangi ketidakpastian global dan suku bunga tinggi.
Bagi WIKA dan sejumlah BUMN karya lain, ini menjadi pengingat pentingnya manajemen risiko yang disiplin, di tengah beban proyek strategis yang terus meningkat. (Ep)