LONJAKAN bonus dan tantiem yang diterima Direksi serta Komisaris bank-bank milik negara (Himbara) di tahun 2024 menjadi ironi di tengah kebijakan efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto. Instruksi presiden yang meminta seluruh kementerian dan BUMN melakukan efisiensi demi pengelolaan keuangan negara yang lebih sehat tampaknya belum sepenuhnya diterapkan dalam kebijakan internal perbankan pelat merah.
Di saat laba bank-bank BUMN mengalami pertumbuhan yang stagnan—bahkan nyaris tidak bergerak signifikan—bonus yang diterima jajaran direksi dan komisaris justru melonjak drastis, mencapai kenaikan hingga 74%. Bank Mandiri, BRI, dan BNI mencatat pertumbuhan laba yang sangat kecil, masing-masing hanya naik 1,31%, 0,09%, dan 2,65% secara tahunan. Dengan pertumbuhan yang minim seperti ini, kenaikan bonus direksi hingga puluhan miliar rupiah per orang menjadi keputusan yang sulit diterima akal sehat.
Berdasarkan laporan keuangan, jajaran Direksi dan Komisaris PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) memperoleh bonus serta tantiem sebesar Rp1,33 triliun pada 2024. Angka ini melonjak 74,19% dibandingkan 2023. Dengan rinician masing-masing direksi memperoleh Rp78,82 miliar, komisaris memperoleh Rp38,88 miliar.
Sementara Direksi dan Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) memperoleh bonus dan tantiem sebesar Rp907,94 miliar pada 2024, naik 61,07% dari tahun sebelumnya. Dengan rincian masing-masing direksi memperoleh Rp648,09 miliar, komisaris Rp25,98 miliar.
Adapun Direksi dan Komisaris PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) memperoleh bonus serta tantiem sebesar Rp576,34 miliar pada 2024, meningkat 82,96% dari tahun sebelumnya. Direksi BBNI masing-masing memperoleh Rp40,39 miliar, komisaris Rp15,67 miliar.
PEMBERIAN bonus dalam dunia korporasi memang lazim dilakukan sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian kinerja. Namun, bonus seharusnya proporsional terhadap keuntungan perusahaan, bukan bertolak belakang dengan kinerja yang lesu. Jika laba hanya tumbuh tipis, apa justifikasi yang digunakan untuk menaikkan tantiem hingga puluhan miliar rupiah per individu? Jika tujuannya adalah menjaga daya saing dan mempertahankan talenta terbaik, maka harus ada tolok ukur yang lebih jelas dan transparan agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang bagi citra BUMN sendiri.
Sebagai bank milik negara, Himbara memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat. Dana yang dikelola bukan hanya berasal dari modal pemegang saham, tetapi juga dari dana publik dalam bentuk tabungan, deposito, dan investasi. Keputusan pemberian bonus yang berlebihan di tengah situasi ekonomi yang menantang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara.
Lebih jauh, kebijakan ini juga berpotensi menciptakan ketimpangan dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan di kementerian dan BUMN lainnya. Jika pegawai di sektor lain diminta untuk mengencangkan ikat pinggang, mengapa direksi dan komisaris perbankan justru menikmati kenaikan bonus yang fantastis?
Pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan regulator perbankan, perlu meninjau ulang mekanisme pemberian bonus di bank-bank milik negara. Kebijakan remunerasi harus lebih transparan dan berbasis kinerja nyata, bukan sekadar keputusan internal yang mengabaikan kondisi ekonomi makro. Selain itu, publik berhak mendapatkan penjelasan yang lebih rinci mengenai dasar pertimbangan kenaikan bonus ini agar tidak terjadi ketimpangan antara tuntutan efisiensi dan kenyataan di lapangan.
Di tengah upaya pemerintah untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik dan efisien, keputusan seperti ini justru memberikan sinyal yang bertolak belakang. Jika BUMN benar-benar ingin menjadi contoh dalam pengelolaan keuangan yang sehat, maka keseimbangan antara efisiensi, kinerja, dan insentif harus dijaga dengan lebih bijak. (Ep)