Janji Rumah Layak Tak Kunjung Tiba: Warga Eks Timtim Menolak Pindah!

Rusak, Tak Layak Huni, dan Tak Bisa Diwariskan, Rencana Relokasi Picu Aksi Massa di Kantor Bupati Kupang

Kupang — Di bawah langit mendung yang menaungi Kantor Bupati Kupang, suara lantang Asten Bait menggelegar dari pengeras suara.

Puluhan warga eks Timor Timur berkumpul membawa poster-poster bernada protes. Mereka menolak relokasi ke kompleks perumahan Burung Unta yang dibangun pemerintah pusat.

Tapi di balik aksi ini, terungkap lebih dari sekadar penolakan. Ada luka lama, ketidakpastian masa depan, dan mimpi yang perlahan memudar.

Dalam orasinya, Asten Bait menyampaikan dua alasan utama di balik penolakan, yaitu :

  • Kompleks Burung Unta yang berlokasi di Desa Camplong Dua dan Desa Kuamasi, Kecamatan Fatuleu, tengah diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT).
  • Dugaan korupsi pembangunan 2.100 unit rumah mencuat sejak 2024.

“Kami tidak mau dipindahkan ke sana. Rumah-rumah itu rusak dan sedang diselidiki. Kami hanya ingin hidup layak,” tegas Asten.

Kondisi Tak Layak Huni & Ancaman Pengusiran di Masa Depan

Selain itu. banyak rumah dilaporkan dalam kondisi retak, plafon rusak, serta tidak memiliki akses air bersih dan sanitasi yang layak. Bahkan jalan menuju lokasi disebut tak memadai untuk aktivitas ekonomi warga.

Data dari laporan investigasi Kejati NTT (2024) menyebut bahwa kerugian negara dalam proyek ini mencapai Rp 86 Miliar dari total anggaran lebih dari Rp 300 Miliar.

Foto : pembangunan 2.100 rumah khusus (rusus) pejuang eks Timor Timur di Kabupaten Kupang, NTT

Warga juga mengungkap kejanggalan dalam sertifikat tanah yang diberikan, “Tidak Bisa Diwariskan.” Sertifikat rumah di kompleks relokasi disebut tidak bisa diwariskan atau dipindahtangankan. Ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi kelangsungan generasi penerus.

Kalau kami meninggal, anak-anak kami harus pergi. Ini bukan rumah, ini ancaman!” ujar Asten.

Asten menyebutkan pengalaman pahit warga eks Timor Timur di Naibonat, yang akhirnya digusur karena lahan diklaim milik TNI AD. Kekhawatiran ini menghantui warga yang takut pengalaman serupa terulang di Burung Unta.

Massa aksi menuntut DPRD Kabupaten Kupang segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan:

  • Pemerintah daerah
  • ATR/BPN
  • TNI AD
  • Kejaksaan Tinggi

“Kami bukan pengemis, bukan beban negara. Kami adalah pejuang yang pernah mempertaruhkan segalanya untuk Indonesia. Kami hanya ingin kejelasan!” Tegas Asten Bait.

Pemerintah Harus Hadir dengan Solusi yang Adil

Maria Dolores, Peneliti Kebijakan Sosial Universitas Nusa Cendana menilai penolakan warga sebagai wujud frustasi akibat pengabaian struktural.

“Ketika proyek untuk rakyat justru dililit korupsi, kepercayaan publik hancur. Negara harus segera hadir, bukan hanya dengan proyek, tapi dengan keadilan,” katanya kepada media.

Aksi warga eks Timor Timur ini bukan sekadar penolakan terhadap relokasi. Ini adalah simbol perlawanan atas ketidakpastian, penindasan hak warisan, serta trauma masa lalu yang belum tuntas.

Kompleks perumahan Burung Unta yang awalnya menjadi harapan baru, kini berubah menjadi titik genting perjuangan baru warga eks pengungsi.

“Kami hanya ingin rumah yang benar-benar rumah tempat hidup, bukan sekadar tempat tinggal,” seru Asten, mengakhiri orasinya. (VT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *