Yogyakarta – Perubahan status kolegium kesehatan menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan menuai kritik tajam dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menamakan diri Civitas Akademika Bulaksumur.
Mereka berasal dari berbagai elemen di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), termasuk dosen, guru besar, hingga mahasiswa.
Salah satu tokoh yang bersuara lantang adalah Guru Besar Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Prof Dr dr Budi Yuli Setianto, SpPDKKV, SpJP(K).
Ia menilai perubahan ini menyebabkan kolegium, yang sebelumnya independen, kehilangan otoritas ilmiahnya.
“Adanya kolegium yang baru ini menyebabkan terjadinya pergeseran wewenang,” kata Budi dalam forum Suara Keprihatinan Bulaksumur di Lapangan Pancasila UGM, Rabu (07/05/25).
Lebih jauh, Budi mengungkap adanya intimidasi terhadap pihak yang kritis terhadap kebijakan tersebut.
“Dia juga menjelaskan, ada tindakan represif pada mereka yang mengkritisi kolegium yang baru ini dengan cara dimutasi. Sehingga, banyak elemen jadi takut bersuara.”
Menurutnya, aksi ini bukanlah bentuk penolakan, melainkan seruan agar ruang diskusi dibuka sebelum keputusan strategis ditetapkan. “Kami bukan menentang. Tetapi mendorong adanya diskusi dahulu,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof Dr Wahyudi Kumorotomo, MPP, yang menyebut alih fungsi kolegium sebagai bagian dari kepentingan kekuasaan merupakan langkah yang membahayakan.
“Kolegium itu adalah lembaga yang secara profesional sudah bertahun-tahun menjadi standar untuk kompetensi dokter,” katanya.
Ia juga mengkritik pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang bersuara kritis, yang dinilai akan mematikan semangat profesionalisme dan independensi dalam dunia medis.
“Pendidikan dokter jadi tidak bisa dipastikan memenuhi standar seperti kolegium selama ini. Kalau dokter kemampuannya tidak memadai dan diagnosis tidak tepat maka yang rugi kita semua,” tegas Wahyudi. (Yud)