Lebaran Sepi Wisatawan! Hotel di Yogyakarta Hanya Bertahan 3 Bulan

Banyak Hotel Hanya Mampu Gaji Karyawan Berdasarkan Jumlah Tamu

Yogyakarta – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengeluhkan penurunan drastis dalam tingkat reservasi hotel selama periode libur Lebaran tahun ini. Hingga beberapa hari menjelang Lebaran, tingkat pemesanan kamar masih jauh dari ekspektasi.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengungkapkan bahwa hingga periode 26 Maret hingga 1 April 2025, reservasi hotel baru mencapai 5 hingga 20 persen. “Lebaran tinggal beberapa hari, reservasi kita baru 5-20 persen untuk periode 26 Maret hingga 1 April. Kemudian, untuk tanggal 1 hingga 4 April, baru mencapai 40 persen,” kata Deddy.

Tingkat hunian ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada periode yang sama, okupansi hotel bisa mencapai 60 hingga 70 persen. Penurunan ini menjadi pukulan berat bagi industri perhotelan di Yogyakarta, yang selama ini bergantung pada arus wisatawan saat musim liburan.

Deddy berharap masih ada lonjakan kunjungan pada hari H, di mana wisatawan langsung memesan kamar tanpa reservasi sebelumnya. Namun, ia juga mengakui bahwa mengandalkan pemesanan mendadak bukanlah strategi yang bisa diandalkan untuk mengatasi krisis ini.

Lebih lanjut, Deddy menjelaskan bahwa rendahnya tingkat reservasi tidak hanya disebabkan oleh perubahan pola perjalanan wisatawan, tetapi juga diperparah oleh menurunnya jumlah kegiatan MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions) yang biasanya menjadi faktor pendukung utama dalam meningkatkan okupansi hotel.

Menurutnya, acara-acara MICE dari sektor swasta maupun pemerintah yang biasanya ramai digelar di Yogyakarta mengalami penurunan signifikan tahun ini. Ditambah dengan daya beli masyarakat yang semakin melemah, kondisi ini membuat bisnis perhotelan semakin tertekan.

Deddy menegaskan bahwa situasi ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah. Ia mengungkapkan bahwa tanpa adanya peningkatan okupansi, hotel-hotel di Yogyakarta hanya mampu bertahan antara tiga hingga enam bulan sebelum terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

“Kami hanya bisa bertahan 3 sampai 6 bulan tanpa PHK. Ini adalah warning bagi pemerintah,” ujarnya.

Saat ini, banyak hotel yang hanya mampu membayar gaji karyawan berdasarkan jumlah tamu yang menginap. Tabungan yang sebelumnya menjadi cadangan operasional pun sudah terkuras habis.

Tak hanya saat Lebaran, Deddy juga menyoroti tren penurunan okupansi hotel yang terjadi sejak awal tahun. Jika pada Januari tingkat hunian masih berada di angka 60-70 persen, maka pada Februari turun menjadi 50 persen, dan di bulan Maret semakin anjlok ke kisaran 5 hingga 15 persen.

Penurunan ini mencerminkan tantangan besar bagi industri pariwisata di Yogyakarta. Para pelaku usaha berharap ada langkah konkret dari pemerintah dan pihak terkait untuk membantu pemulihan sektor ini agar tidak semakin terpuruk. (Ep)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *