Lucky Hakim ke Jepang: Liburan atau Lari dari Tanggung Jawab

Oleh: E Priyono

LEBARAN adalah momen penting bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya sebagai hari raya keagamaan, tetapi juga momentum mobilisasi terbesar di negeri ini. Ratusan ribu warga pulang kampung, infrastruktur diuji, pelayanan publik dituntut prima, dan stabilitas wilayah menjadi prioritas. Di tengah kesibukan dan harapan masyarakat, kabar Bupati Indramayu Lucky Hakim yang berlibur diam-diam ke Jepang justru menyentil nurani publik.

Meski libur Lebaran termasuk hari libur nasional, kepala daerah tidak serta-merta bisa meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja, apalagi tanpa izin resmi dari Gubernur atau Kementerian Dalam Negeri. Jabatan bupati bukan sekadar titel administratif—itu adalah amanah. Dalam kondisi rawan dan penuh dinamika seperti musim mudik dan arus balik Lebaran, seorang bupati seharusnya siaga, memantau wilayah, bersiaga menghadapi kemungkinan lonjakan kasus kesehatan, kemacetan, bahkan bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Liburan diam-diam ke luar negeri di tengah tugas mulia itu bukan hanya soal pelanggaran prosedur administratif. Lebih dalam, itu adalah soal ketidaksensitifan terhadap situasi rakyat yang sedang butuh perhatian. Bagaimana mungkin pemimpin daerah memilih bersantai di negeri Sakura, sementara masyarakat di wilayahnya sedang membutuhkan pelayanan.

Bukan berarti kepala daerah tidak boleh berlibur. Namun, ada waktu, ada prosedur, dan ada tanggung jawab moral yang tidak boleh diabaikan. Apalagi, Indramayu dikenal sebagai salah satu kabupaten dengan tantangan ekonomi cukup berat di Jawa Barat. Ketidakhadiran bupati dalam momen penting seperti ini hanya memperkuat kesan bahwa rakyat tidak menjadi prioritas.

Ketika seorang pemimpin lebih memikirkan kenyamanan pribadi dibanding kesiagaan dalam bertugas, maka yang perlu dipertanyakan bukan hanya izinnya, tetapi komitmennya terhadap jabatan.

Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah sewajarnya mengambil langkah tegas. Jangan sampai tindakan seperti ini menjadi preseden buruk dan melemahkan integritas institusi pemerintahan daerah. Jika kepala daerah mulai mengabaikan aturan dan tanggung jawab, maka yang tercederai bukan hanya hukum, tetapi juga kepercayaan rakyat.

Pemimpin tidak hanya diuji dalam rapat-rapat atau pidato-pidato. Mereka diuji dalam saat genting, di tengah krisis, dan pada waktu ketika kehadiran mereka paling dibutuhkan. Sayangnya, dalam kasus ini, Lucky Hakim tampaknya gagal melewati ujian tersebut. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *