Washington, AS – Gedung Putih meluncurkan akun resmi TikTok, langkah yang menandai perubahan besar dalam hubungan Amerika Serikat dengan aplikasi asal China tersebut.
Keputusan ini muncul, meski undang-undang federal masih mewajibkan penjualan atau pelarangan TikTok atas dasar keamanan nasional.
“America we are BACK! What’s up TikTok?” tulis unggahan perdana akun Gedung Putih, berupa video singkat berdurasi 27 detik. Hanya dalam satu jam, akun itu telah mengumpulkan sekitar 4.500 pengikut.
Trump Sempat Larang TikTok
Langkah ini kontras dengan sikap Presiden Amerika, Donald Trump, ketika pada 2020 saat ia pertama kali mendorong larangan TikTok dengan alasan potensi ancaman spionase.
Namun, sejak kampanye pilpres 2024, pandangannya berubah. Trump bahkan mengakui aplikasi itu sebagai salah satu faktor kemenangan atas lawannya dari Partai Demokrat, Kamala Harris.

“Pemerintahan Trump berkomitmen untuk menyampaikan keberhasilan bersejarah Presiden Trump kepada rakyat Amerika melalui berbagai audiens dan platform,” kata Karoline Leavitt, Sekretaris Pers Gedung Putih, saat akun itu resmi tayang.
Hingga kini, undang-undang yang menuntut TikTok dijual ke pihak non-Tiongkok atau dilarang total masih berlaku. Deadline terakhir sudah diperpanjang Trump hingga September mendatang.
Meski demikian, langkah Gedung Putih membuka akun resmi di TikTok menegaskan bahwa aplikasi ini tak hanya dipertahankan, tapi juga dimanfaatkan sebagai kanal komunikasi politik.
Trump Punya Akun TikTok
Trump sendiri memiliki akun pribadi TikTok dengan 15,1 juta pengikut. Meski posting terakhirnya terjadi pada hari pemilu 5 November 2024, akun tersebut menjadi salah satu pilar kampanye digitalnya.
“Trump percaya TikTok membantunya meraih simpati pemilih muda,” ungkap seorang penasihat kampanye yang dikutip The Associated Press.

TikTok kini memiliki sekitar 170 juta pengguna di AS dan hampir 2 miliar di seluruh dunia. Meski perdebatan mengenai keamanan data masih berlangsung, kehadiran resmi Gedung Putih di platform ini menegaskan satu hal: aplikasi yang dulunya dianggap ancaman kini justru dijadikan alat propaganda politik utama.(YA)





