London, Inggris – Bayangkan kamu lagi ngopi sambil scroll TikTok, tiba-tiba muncul video deepfake dari tokoh publik, terlihat real banget. Lalu kamu buka berita, dan ternyata itu hasil AI.
Keren ? Menakutkan ? Atau dua-duanya ? Nah, ternyata bukan cuma kamu yang dilema. Dunia pun lagi galau besar menghadapi kecanggihan AI.
Riset global dari Ipsos Mori, yang dirilis secara eksklusif oleh The Guardian, menunjukkan bahwa respon dunia terhadap AI terbagi dua kutub besar antara yang nervous banget, dan yang excited parah.
Apa Kata Responden ?
- Polling dilakukan terhadap 23.000 responden di 30 negara.
Riset ini mencakup negara-negara besar di Eropa, Asia Tenggara, Amerika Serikat, hingga Australia. - 25% responden global mengaku belum benar-benar memahami apa itu AI.
Ini berarti masih banyak yang penasaran, tapi takut-takut salah paham. - 66% warga Inggris merasa cemas dengan AI.
Mereka khawatir AI akan digunakan dalam produk dan layanan yang mengubah hidup tanpa kontrol yang jelas. - Kepercayaan pada pemerintah untuk mengatur AI juga rendah.
Di Inggris, hanya kurang dari 50% yang percaya pemerintah bisa mengatur AI secara bertanggung jawab. - Sebaliknya, Asia Tenggara justru penuh antusiasme!
Responden di Indonesia, Malaysia, dan Thailand termasuk yang paling bersemangat menyambut AI.
Bahkan tingkat excitement mereka hampir dua kali lipat dibanding AS dan Inggris.
AI & Masa Depan Pekerjaan
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah soal lapangan kerja. Di Inggris, 1 dari 3 orang takut pekerjaannya bakal digantikan AI dalam 5 tahun ke depan.
Sementara di Thailand, hampir 75% responden percaya pekerjaan mereka akan digantikan AI dalam waktu dekat, tapi anehnya mereka lebih optimis dan siap beradaptasi.
Di negara seperti Swedia, hanya 14% yang merasa terancam. Artinya, persepsi AI beda-beda tergantung konteks budaya, ekonomi, dan edukasi.
AI di Dunia Kreatif: Kolaborasi atau Kompetisi ?
AI juga mulai masuk ke ranah kreatif. Misalnya, Björn Ulvaeus, personel band legendaris ABBA, mengaku sedang menulis musikal bareng AI.
“Rasanya seperti punya penulis lagu tambahan dengan referensi raksasa,” ujar Björn Ulvaeus, musisi ABBA kepada The Guardian.
Namun, hal ini juga memicu perlawanan. Di Inggris, musisi seperti Kate Bush dan Elton John menyerukan perlindungan hak cipta dari teknologi-teknologi seperti AI generatif.
Di Amerika, penulis besar seperti John Grisham dan Ta-Nehisi Coates bahkan menggugat perusahaan seperti OpenAI dan Microsoft, karena dianggap melanggar hak cipta.
Kepercayaan pada Regulasi
Menurut Matt Carmichael, Senior VP di Ipsos Mori, “Di negara-negara Anglosphere (AS, Inggris, Kanada, Irlandia, Australia), rasa takut jauh lebih dominan dibanding rasa kagum.”
Negara-negara Uni Eropa seperti Jerman dan Prancis punya rasa khawatir lebih rendah. Ini mungkin karena adanya EU AI Act, undang-undang yang sudah lebih dulu mengatur tentang batasan etis AI, termasuk pelarangan AI untuk sistem social scoring dan manipulasi konten.
Sementara di AS dan Inggris, regulasi AI justru molor dan cenderung mengikuti arah kebijakan bisnis teknologi besar seperti Google, Meta, dan Amazon.
Meskipun banyak yang tidak suka dengan AI bikin berita, film, atau iklan, mayoritas responden dunia percaya bahwa AI akan tetap jadi produsen utama konten di masa depan.
Jadi… suka nggak suka, AI adalah masa depan. Waktunya kita lebih melek AI, bukan buat ditakuti, tapi buat dikendalikan! (YA)