Washington, AS – Presiden Donald Trump menandatangani sebuah keputusan yang langsung mengguncang dunia.
Lewat kebijakan barunya, Trump kembali memberlakukan larangan perjalanan internasional mirip dengan yang sempat memicu protes global pada awal masa jabatannya tahun 2017.
Larangan ini akan berlaku mulai Senin (10/06/25) , pukul 00.01 waktu setempat, dan ditujukan kepada warga dari 19 negara.
Sebanyak 12 negara masuk dalam daftar larangan total, sementara 7 negara lainnya dikenai pembatasan khusus. Negara yang dilarang masuk ke Amerika serikat adalah :
- Afghanistan
- Myanmar
- Chad
- Republik Demokratik Kongo
- Guinea Ekuatorial
- Eritrea
- Haiti
- Iran
- Libya
- Somalia
- Sudan
- Yaman
Negara yang dikenai pembatasan khusus oleh Amerika :
- Burundi
- Kuba
- Laos
- Sierra Leone
- Togo
- Turkmenistan
- Venezuela (terbatas pada pejabat pemerintah dan keluarganya)
Alasan Keamanan Nasional
Dalam rilis yang dikeluarkan gedung putih, Trump menyatakan “Saya harus bertindak untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan rakyat Amerika Serikat.”— Presiden Donald J. Trump
Trump mengacu pada perintah eksekutif yang ia tandatangani 20 Januari 2025, yang memerintahkan lembaga seperti Departemen Luar Negeri, Keamanan Dalam Negeri (DHS), dan Direktur Intelijen Nasional (DNI) untuk mengevaluasi sikap “permusuhan” negara lain terhadap AS.
Hasil laporan itu dijadikan dasar larangan ini. Namun, keabsahan metode evaluasi tersebut masih dipertanyakan banyak pihak.
Dominasi Negara Afrika dan Muslim
Yang menjadi sorotan tajam adalah fakta bahwa :
- 10 dari 19 negara berada di Afrika
- Mayoritas dari 12 negara memiliki populasi Muslim yang besar
- Beberapa negara seperti Togo dan Guinea Ekuatorial tidak memiliki catatan sebagai sarang terorisme
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa larangan tersebut tak semata demi keamanan nasional, melainkan berbau diskriminasi.
Publik masih ingat peristiwa 2017, ketika Trump mengeluarkan larangan perjalanan bagi warga dari 7 negara mayoritas Muslim. Dampaknya ? Bandara-bandara di AS lumpuh oleh aksi protes dan kekacauan imigrasi.
Larangan tersebut akhirnya direvisi dan disahkan oleh Mahkamah Agung AS pada 2018, tetapi tetap menyisakan luka bagi banyak diaspora dan komunitas Muslim di AS.
“Kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tapi juga tidak efektif dalam menjaga keamanan nasional. Justru memperkuat narasi bahwa AS menargetkan negara-negara tertentu berdasarkan ras dan agama,” ungkap Omar Jadwat, Direktur Immigrants’ Rights Project, ACLU (American Civil Liberties Union) dikutip dari AP News.
Senada dengan itu, Council on Foreign Relations (CFR) dalam laporan terbarunya menyebut “Larangan ini tampaknya lebih bersifat simbolik ketimbang substantif, mengingat minimnya data yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut menjadi ancaman nyata terhadap AS.”
Dampak Pada Pendidikan, Bisnis, dan Kemanusiaan
Tak hanya pelancong biasa, larangan ini berisiko besar terhadap :
- Pelajar dan Mahasiswa Asing dari negara-negara terdampak
- Program bantuan kemanusiaan yang melibatkan warga AS di negara-negara tersebut
- Hubungan dagang dan investasi bilateral
Dengan masa kampanye yang kembali memanas jelang pemilu, banyak pengamat menilai kebijakan ini sebagai upaya Trump untuk memenangkan suara konservatif dengan menggunakan isu keamanan sebagai alat politik.
Namun, di mata dunia, ini adalah sinyal bahwa Amerika belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang politik diskriminatif era 2017.
“Yang dikhawatirkan, larangan ini bisa memicu balasan diplomatik dan memperburuk citra AS di mata global,” ujar Prof. Daniel Byman, Brookings Institution. (YA)
Baca juga :