Istanbul, Turki – Pertemuan diplomatik dipenuhi delegasi dari 50 negara Islam, akibat panasnya konflik global yang menghantam dunia Islam.
Dari kekerasan Israel terhadap Palestina yang tak kunjung reda hingga serangan baru-baru ini ke wilayah Iran, suasana Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-51 OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) terasa genting.
Dalam suasana tersebut, Menteri Luar Negeri RI, Sugiono menyampaikan pernyataan tegas.
“OKI tidak boleh lagi bersikap lunak. Kita harus lebih keras dan tegas memperkuat multi-lateralisme dan hukum internasional,” tegas Menlu Sugiono.
Pernyataan itu tidak berdiri sendiri. Di tengah sorotan dunia pada krisis kemanusiaan dan gejolak kawasan Timur Tengah, Indonesia menempatkan dirinya sebagai suara moral dan strategis dari Global South, kelompok negara berkembang yang sering kali diabaikan dalam dinamika kekuatan global.
Indonesia Mendesak OKI Bertindak
Menlu Sugiono mengangkat sejumlah isu utama yang menjadi perhatian, diantaranya adalah:
- Agresi Israel: Kekerasan yang terus terjadi di Gaza dan wilayah Tepi Barat. Menurut data United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), hingga Mei 2025, lebih dari 37.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik Gaza 2023.
- Serangan ke Iran: Israel diduga berada di balik serangan udara terhadap fasilitas diplomatik Iran di Damaskus, Suriah, pada awal April 2025, memicu ketegangan regional, dilansir dari Al Jazeera, April 2025.
- Kegagalan Sistem Multilateral: Sistem global dianggap terlalu dikendalikan oleh negara-negara besar, dan tak mampu memberikan keadilan bagi negara berkembang atau dunia Islam.

Pada pidatonya Menlu RI, Sugiono mendesak OKI untuk memainkan peran lebih aktif dalam mendorong tata dunia yang adil dan inklusif, di mana suara negara-negara Muslim dan berkembang tidak diabaikan.
OKI juga diminta menghentikan konflik internal dan perbedaan politik yang justru melemahkan kekuatan bersama.
Indonesia juga tak lupa menyerukan agar pengakuan terhadap negara Palestina diperluas secara global, terutama dari negara-negara anggota OKI yang belum melakukannya.
Menlu RI menekankan pentingnya kerja sama konkret dalam perdagangan, pendidikan, sains, serta pengolahan sumber daya alam antar negara anggota.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana menilai pernyataan Menlu RI sebagai bentuk diplomasi ofensif yang dibutuhkan OKI saat ini.
“Selama ini OKI terlalu reaktif dan kurang inisiatif. Indonesia ingin OKI jadi aktor, bukan hanya penonton krisis,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Peneliti Senior di Middle East Institute, Singapura, Dr. Lina Azhari menambahkan bahwa posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, harus memberi legitimasi moral dalam mendorong reformasi.
“Indonesia punya potensi jadi juru bicara dunia Islam, jika konsisten menyuarakan keadilan dan solidaritas,” kata Lina kepada The Strait Times.
Kehadiran Sugiono di Istanbul juga menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah salah satu pendiri OKI sejak 1969, dan tetap konsisten mengambil peran dalam upaya perdamaian global.
Dalam konferensi yang dipimpin oleh Menlu Turki, Hakan Fidan, hadir pula tokoh-tokoh penting dunia Islam seperti Menlu Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Malaysia, dan Jordania.
Di sela-sela forum, Sugiono juga melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Azerbaijan untuk memperkuat kerja sama strategis di bawah kerangka OKI. (YA)





