Sydney, Australia – Laporan Demographia International Housing Affordability terbaru yang dirilis awal tahun ini mengungkap kenyataan pahit: tidak satu pun dari 95 pasar perumahan utama dunia yang masih tergolong “terjangkau”.
Bahkan, Australia menempati posisi kedua negara dengan harga rumah paling tidak terjangkau, hanya kalah dari Hong Kong.
Menurut laporan tersebut, lima kota besar Australia, Sydney, Adelaide, Brisbane, Melbourne, dan Perth masuk kategori “sangat tidak terjangkau” hingga “mustahil terjangkau”.
Kota Sydney menempati posisi kedua dunia dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan rumah tangga (median multiple) sebesar 13,8 kali. Jika tren ini berlanjut, Sydney bisa menggeser Hong Kong sebagai kota dengan harga rumah termahal di dunia pada 2025.
“Harga rumah kita dua kali lebih mahal dibandingkan AS, dan jauh di atas Inggris,” kata laporan Demographia yang telah memantau tren perumahan sejak 21 tahun lalu.
Adelaide yang dulunya dianggap kota kelas menengah, kini bahkan lebih mahal dari New York dan London. Sementara Melbourne sedikit turun peringkat karena stagnasi harga rumah pasca-pandemi.
Laporan ini menyalahkan kebijakan perencanaan kota yang disebut “urban containment”, strategi membatasi pembangunan rumah baru hanya di dalam batas kota sebagai penyebab utama lonjakan harga.
Kebijakan ini dianggap membatasi pasokan tanah dan mendorong harga tanah dan rumah semakin tinggi.
Mengapa Tak Ada Lagi Kota yang Terjangkau ?
Dulu, kota-kota seperti Pittsburgh atau Durham tergolong terjangkau. Namun kini, bahkan pasar paling murah di dunia memiliki rasio median multiple di atas 3x, batas maksimal kategori terjangkau menurut Demographia.
“Model perencanaan kita meniru Undang-Undang Perencanaan Inggris tahun 1947. Ini adalah resep untuk krisis harga rumah,” ujar Wendell Cox, penulis utama laporan Demographia.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris masih memiliki kota-kota yang relatif lebih murah seperti Pittsburgh (3,2x), Cleveland, dan Edmonton.
Belajar dari Selandia Baru dan Singapura
Selandia Baru disebut sebagai contoh reformasi sukses. Kota Auckland yang sempat memiliki rasio 11,2x pada 2021 kini turun menjadi 7,7x.
Pemerintah yang baru terpilih pada 2023 membuka lebih banyak lahan baru untuk pembangunan rumah tapak (greenfield development).
“Krisis perumahan menahan laju pertumbuhan ekonomi dan sosial Selandia Baru. Solusinya sederhana: kita perlu lebih banyak rumah dan lahan pembangunan baru,” ujar Menteri Perumahan Selandia Baru, Chris Bishop, dikutip dari Going for Housing Growth.
Laporan ini menyarankan Australia untuk mengikuti langkah tersebut: memperluas pasokan tanah dengan membangun rumah di pinggiran kota, bukan hanya memadatkan kawasan yang sudah ada.(YA)