Refleksi Konklaf: Apakah Indonesia Perlu Kembali ke Pemilihan Presiden Oleh MPR?

Oleh: E Priyono

Pernyataan Kardinal Ignatius Suharyo soal bersih dan spiritualnya proses pemilihan Paus di Vatikan mengundang perenungan lebih dalam, terutama dalam konteks demokrasi di Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk politik nasional dan wacana yang terus mengemuka tentang kemungkinan mengembalikan pemilihan presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), masyarakat perlu diajak untuk merenungi: apakah sistem tersebut akan benar-benar menghadirkan pemimpin yang bermoral dan berintegritas, atau justru menjauhkan rakyat dari kedaulatan?

Dalam konklaf pemilihan Paus, proses pemilihan berlangsung dalam keheningan, penuh doa, dan tanpa campur tangan kepentingan ekonomi atau kekuasaan. Seperti disampaikan oleh Kardinal Suharyo:

“Alangkah hebatnya kalau pemimpin-pemimpin kita itu dihasilkan dengan cara seperti itu (Konklaf pemilihan Paus).”

Sayangnya, realitas politik di Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Praktik politik uang, kampanye hitam, jual beli dukungan, hingga politik balas budi, masih kerap mewarnai proses elektoral, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Wacana mengembalikan pemilihan presiden ke tangan MPR seolah menjadi jalan pintas atas berbagai keruwetan demokrasi elektoral. Namun benarkah itu solusi, atau justru kemunduran demokrasi? Sistem pemilihan melalui MPR berpotensi besar mempersempit ruang partisipasi rakyat dan memperkuat dominasi elite politik. Ketimbang mencari format yang membatasi suara rakyat, bukankah lebih tepat jika yang diperbaiki adalah kualitas moral, spiritualitas, dan integritas para pemimpin dan elite partai?

“Gereja itu bukan institusi politik, tetapi institusi spiritual. Maka yang spiritual itu harus dijaga benar-benar,” kata Kardinal Suharyo.

Pernyataan ini bukan hanya relevan bagi Gereja, tetapi juga bisa menjadi pengingat bagi lembaga politik dan negara. Bila spiritualitas yang dimaksud mencakup nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan keberpihakan pada yang lemah, maka itulah yang seharusnya menjadi landasan dari sistem dan proses pemilihan pemimpin, baik melalui pemilu langsung atau mekanisme representatif seperti MPR.

“Maka kalau memilih pemimpin yang baik ya tidak boleh ada macam-macam seperti yang biasanya terjadi dalam pemilihan presiden dan sebagainya. Tidak ada di sana (konklaf),” tambahnya.

Apakah Indonesia siap menempuh jalan serupa dengan konklaf? Tentu tidak dalam bentuk yang persis sama, namun dalam semangatnya: menjauhkan pemilihan dari praktik kotor, serta menjadikan kepemimpinan sebagai amanah, bukan sekadar ambisi.

“Tidak mencari kekuasaan, tidak ada gosip-gosip, tidak ada macam-macam seperti itu… Diperjuangkan iya, harus, tetapi tidak dengan cara menghalalkan segala cara,” tegas Kardinal Suharyo.

Dengan demikian, ketimbang mengutak-atik sistem pemilu menjadi kembali ke MPR, bangsa ini sebaiknya berfokus pada membangun sistem rekrutmen politik yang lebih etis, kaderisasi kepemimpinan yang lebih jernih, serta pemurnian praktik demokrasi dari kepentingan sempit.

Pemilihan Paus memang tidak dapat ditiru seutuhnya. Namun semangat yang melandasi proses itu – dan kesungguhan mencari yang terbaik – dapat menjadi inspirasi dalam membenahi cara bangsa ini memilih pemimpinnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *