Washington – Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron terlibat dalam momen jabat tangan yang penuh makna di luar Oval Office, Gedung Putih, pada Senin (waktu setempat). Jabat tangan yang kuat dan berlangsung lama itu menjadi simbol tarik-ulur hubungan kedua pemimpin di tengah perdebatan panas mengenai perang Rusia-Ukraina.
Setelah bersalaman dengan erat, Trump yang berusia 78 tahun menarik Macron, 47 tahun, lebih dekat dalam sapaan yang tampak lebih dari sekadar formalitas diplomatik. Kedua pemimpin kemudian melambaikan tangan ke arah media sebelum memasuki West Wing untuk pertemuan bilateral.
Di dalam Oval Office, momen jabat tangan kembali terjadi, bahkan hingga dua kali. Keduanya sesaat terlibat dalam posisi genggaman khas “perang jempol,” sesuatu yang akrab bagi anak-anak di seluruh dunia. Hubungan keduanya memang sering menjadi sorotan sejak pertemuan pertama mereka pada April 2018, ketika Trump dan Macron bertukar “bise”—ciuman pipi khas Prancis—dalam momen yang tak biasa bagi pemimpin AS.
Pertemuan kali ini menjadi yang pertama bagi Trump dan Macron sejak perjumpaan mereka di Paris pada Desember lalu, saat menghadiri peresmian kembali Katedral Notre Dame bersama Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Kala itu, Trump mengejutkan Macron dengan jabat tangannya yang begitu kuat, seolah hampir menarik pemimpin Prancis itu bersamanya.
Setelah sesi seremonial, pembahasan serius pun dimulai. Trump menyatakan prioritasnya adalah mengakhiri perang Rusia-Ukraina dalam hitungan “minggu.” Ia juga mengklaim bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak keberatan dengan kehadiran pasukan perdamaian Eropa setelah konflik berakhir.
Selain itu, Trump mengungkapkan ketertarikannya pada peluang kerja sama ekonomi dengan Moskow, meski Rusia masih berada di bawah sanksi besar-besaran dari AS. “Kami ingin mencoba beberapa kesepakatan pengembangan ekonomi. Mereka memiliki banyak sumber daya yang kita butuhkan, dan kita lihat saja nanti,” ujar Trump, merujuk pada cadangan mineral langka yang dimiliki Rusia dan Ukraina.
Pernyataan Trump tentang keinginannya mengunjungi Moskow pascaperang pun menjadi sorotan. Namun, ia membantah laporan media Prancis yang menyebut dirinya akan menghadiri perayaan Hari Kemenangan (V-E Day) bersama Putin pada 9 Mei mendatang.
Di sisi lain, Macron sebelumnya menyatakan bahwa dalam pertemuan ini, ia akan berusaha meyakinkan Trump agar tetap menjaga jarak dari Putin dan melanjutkan dukungan terhadap Ukraina. “Anda tidak bisa lemah di hadapan Presiden Putin,” tegas Macron dalam sebuah video pekan lalu. “Bukan itu karakter Anda, bukan itu kepentingan Anda. Jika Anda lemah terhadap Putin, bagaimana Anda bisa tetap kredibel di hadapan China?”
Dengan ketegangan diplomasi yang tersirat dalam setiap gestur dan pernyataan, pertemuan Trump-Macron kali ini menegaskan bahwa perang Ukraina bukan hanya pertempuran di medan perang, tetapi juga ajang tarik-ulur politik di antara para pemimpin dunia.(YA)