Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa aset pemerintah Indonesia di Prancis terancam disita setelah Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI kalah sengketa dari Navayo International AG di forum arbitrase internasional. Yusril menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan tinggal diam dan akan melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap putusan tersebut.
Kejagung Usut Dugaan Korupsi, Navayo Mangkir dari Pemeriksaan
Menanggapi ancaman penyitaan aset ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus yang diduga melibatkan sengketa dengan Navayo International AG. Pihak perusahaan telah beberapa kali dipanggil oleh penyidik Kejagung, namun selalu mangkir dari pemeriksaan.
“Kejaksaan Agung akan melakukan gelar perkara guna menentukan potensi tersangka dalam kasus ini,” ujar Yusril.
Kasus ini kembali mencuat setelah Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD memenangkan gugatan terhadap Kemhan RI di International Chambers of Commerce (ICC) Singapore. Putusan arbitrase tersebut menghukum Kemhan RI untuk membayar denda sebesar USD 103,6 juta (sekitar Rp 1,6 triliun) akibat permasalahan sewa satelit yang tidak dibayarkan sejak 2015.
Latar Belakang Sengketa: Sewa Satelit Bermasalah
Pada 2015, Kemhan menyewa satelit untuk mengisi kekosongan di slot orbit 123° BT. Namun, sewa tersebut bermasalah sehingga Kemhan memutuskan untuk tidak membayar biaya sewa. Akibatnya, Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD menggugat Kemhan ke arbitrase internasional dan memenangkan sengketa tersebut.
Pada 2022, perusahaan asal Eropa itu mengajukan permohonan eksekusi penyitaan ke pengadilan Prancis. Tahun 2024, pengadilan Prancis mengabulkan permohonan tersebut dan memberikan wewenang kepada Navayo untuk menyita aset milik pemerintah Indonesia di Paris. Salah satu aset yang terancam adalah rumah-rumah tinggal pejabat diplomatik RI.
Yusril: Penyitaan Ini Melanggar Konvensi Wina
Yusril menegaskan bahwa langkah pengadilan Prancis tersebut melanggar Konvensi Wina mengenai perlindungan aset diplomatik.
“Itu menyalahi Konvensi Wina untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun. Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh pengadilan Prancis, pihak kita tetap akan melakukan upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi,” kata Yusril, seperti dikutip Antara, Jumat (21/3/2025).
Ia menambahkan bahwa meskipun Indonesia harus menghormati putusan arbitrase Singapura, pemerintah akan berupaya merundingkan kembali nilai nominal denda yang harus dibayarkan, terutama dengan Kementerian Keuangan.
Sebagai langkah diplomasi, Yusril berencana bertolak ke Paris pada akhir Maret untuk menghadiri pertemuan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi (OECD). Ia juga akan berdiskusi langsung dengan Menteri Kehakiman Prancis untuk mencari solusi terkait eksekusi aset ini.
Kejagung Siap Tetapkan Navayo Sebagai Tersangka
Yusril juga menyoroti dugaan aspek pidana dalam kasus ini. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Navayo diduga melakukan wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya.
“Menurut perhitungan BPKP, pekerjaan yang sudah dilakukan Navayo hanya senilai Rp 1,9 miliar, jauh dari nilai kontrak yang telah disepakati. Tapi kita justru kalah di arbitrase dan harus membayar jumlah yang sangat besar,” katanya.
Kejaksaan Agung telah memproses hukum pihak-pihak yang terkait dugaan korupsi dalam pengadaan satelit ini. Namun, hingga kini pihak Navayo tidak pernah memenuhi panggilan Kejagung.
Menurut Yusril, jika memang di balik semua ini ada unsur korupsi, kenapa pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi begitu besar kepada Navayo. Lebih lanjut pemerintah akan meminta bantuan Interpol untuk mengejar pihak yang bertanggung jawab agar bisa ditangkap dan diadili di Indonesia. (Ep)