Mina, Arab Saudi – Salah satu momen paling krusial dalam rangkaian ibadah haji terjadi di Mina, Arab Saudi, saat jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia menjalankan ritual melempar jumrah.
Aksi simbolik ini menjadi bagian dari rukun serta wajib haji yang tak boleh terlewat. Prosesi dimulai setelah jamaah menyelesaikan wukuf di Arafah dan bermalam (mabit) di Muzdalifah.
Di sinilah mereka mengumpulkan kerikil sejumlah 49 hingga 70 butir yang nantinya akan digunakan untuk melempar tiga titik jumrah yakni Ula (kecil), Wustha (tengah), dan Aqabah (besar).
Hari Nahr: Awal Melempar
Pada 10 Dzulhijjah atau Hari Raya Idul Adha, jamaah hanya melempar satu jumrah, yakni Jumrah Aqabah.
Waktu utama pelaksanaan dimulai setelah matahari terbit hingga menjelang Maghrib. Namun bagi yang uzur, lemparan boleh dilakukan pada malam hari.
Setelah selesai, jamaah melanjutkan rangkaian dengan menyembelih hewan kurban, tahallul (memotong rambut), dan thawaf ifadah di Masjidil Haram.
Hari Tasyrik: Tiga Titik, Tiga Hari
Pada 11 dan 12 Dzulhijjah (dan opsional 13 Dzulhijjah), jamaah kembali ke lokasi jumrah untuk melempar di tiga titik: Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah.
Masing-masing mendapat tujuh lemparan, total 21 batu per hari. Lemparan dilakukan setelah matahari tergelincir (zawal) hingga sebelum terbit fajar esok hari.
Kerikil yang digunakan harus berukuran kecil, setara biji kacang, dan tidak boleh diganti dengan benda besar atau keras.
Melempar secara serampangan atau berdesakan sangat tidak dianjurkan demi keselamatan diri sendiri dan jamaah lain. Bagi yang fisiknya tidak memungkinkan, lemparan bisa diwakilkan oleh orang lain.
Melempar jumrah bukan hanya sekadar kegiatan ritual, tapi pengingat akan perjuangan spiritual: menolak bisikan keburukan yang tak kasat mata.
Sebuah momen di mana setiap lemparan menjadi pernyataan tegas bahwa iman lebih kuat dari godaan. (YA)