Perjalanan Maut di Gaza: Penembakan dan Kelaparan di Titik Distribusi Bantuan

Di Balik Kerumunan Penuh Kekerasan, Warga Gaza Berjuang Menghadapi Kematian untuk Dapatkan Makanan

Gaza, Palestina — “Ini adalah perjalanan maut,” kata seorang ibu yang terpaksa menempuh jalan berbahaya menuju titik distribusi bantuan yang dikelola oleh GHF (Global Humanitarian Foundation) di Gaza.

Setiap harinya, ribuan warga Gaza berdesakan di pusat-pusat distribusi makanan yang berisiko tinggi, berharap untuk membawa pulang sedikit beras, minyak goreng, atau bahkan sekadar sebotol susu untuk anak-anak mereka.

Namun, bukan hanya rasa lapar yang mereka hadapi. Di sana, diantara tumpukan tubuh yang tak terhitung jumlahnya, kematian datang lebih cepat dari sekadar kelaparan.

Mencari Makanan di Tengah Bahaya

Upaya internasional untuk membantu Gaza, GHF yang didukung oleh Amerika Serikat dan Israel mengambil alih distribusi bantuan sejak Mei 2025.

Namun, apa yang dimaksudkan untuk menjadi saluran hidup bagi jutaan warga Palestina justru berubah menjadi zona perang.

Menurut laporan dari Al Jazeera, sejak GHF memulai operasinya di Gaza, lebih dari 1.300 orang tewas dalam perjalanan menuju titik distribusi bantuan.

Kebanyakan dari mereka tewas setelah ditembak oleh tentara Israel, atau kontraktor keamanan yang disewa oleh GHF.

“Di setiap titik distribusi bantuan, ada penembakan, pembunuhan, kematian, ini semua seperti perang terbuka,” ungkap Ibrahim Mekki, seorang warga Gaza yang selamat dari insiden tersebut.

Mekki, yang berasal dari kamp pengungsi Nuseirat mengatakan bahwa ia harus menunggu lebih dari enam jam hanya untuk mendapatkan beberapa kantong pasta.

Ini seperti jebakan, sebuah permainan. Mereka biarkan Anda bergerak sedikit, lalu membuka tembakan,” katanya kepada Al Jazeera.

Warga Palestina menerima pasokan bantuan di Gaza Tengah – Foto: Dok. Reuters

Di tengah kerumunan, seorang ibu dua anak menceritakan bagaimana ia harus menanggung risiko besar untuk mendapatkan sedikit makanan.

Saya harus memberi makan anak-anak saya, saya tidak punya siapa-siapa lagi untuk membantu,” kata wanita yang tidak ingin disebutkan namanya demi keamanan keluarganya.

Dengan tangannya yang terluka setelah terjepit dalam desakan kerumunan, ia berhasil membawa pulang sedikit beras, minyak goreng, dan sebotol tomat kalengan.

“Ini berkah dari Tuhan,” ujarnya, meski hanya mendapatkan sedikit dan terluka dalam perjalanannya.

Bagi banyak warga Gaza, apa yang disebut “berkah” ini adalah sesuatu yang tak ternilai, mengingat betapa sulitnya bertahan hidup dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Anak-anak Palestina berbagi makanan di Gaza City – Foto: Dok. AFP/Omar Al-Qattaa

Bukan hanya orang dewasa yang harus berjuang untuk bertahan hidup. Muhammad Abu Jarad, seorang anak yang ditemui oleh Al Jazeera menjelaskan bagaimana ia terpaksa mencari makanan untuk adik-adiknya setelah ayahnya gugur dalam konflik tersebut.

Ayah saya sudah mati, jika saya tidak pergi mencari makanan, adik-adik saya bisa mati kelaparan. Apa yang bisa saya lakukan?” tanya Muhammad, dengan tatapan penuh kesedihan.

Cerita tragis serupa diceritakan oleh seorang ibu yang kehilangan anaknya yang kelima akibat kekurangan gizi.

“Anak saya yang keempat meninggal, dia sangat kekurangan gizi. Kami tidak bisa memberinya makanan yang cukup. Dia meninggal di pelukan saya saat saya membawanya ke rumah sakit,” ujar ibu itu dengan suara bergetar.

Pengepungan Kemanusiaan yang Tak Terlihat

Sementara itu, kekurangan makanan dan krisis gizi semakin memburuk. Caroline Willemen, Koordinator Proyek Gaza untuk Médecins Sans Frontières (MSF) mengatakan bahwa meskipun bantuan kemanusiaan mulai masuk, jumlahnya masih sangat terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak warga Gaza.

“Makanan sangat langka. Setiap hari, orang-orang mempertaruhkan hidup mereka untuk mencari sedikit makanan,” ungkapnya kepada Al Jazeera.

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 160 orang telah meninggal akibat kelaparan dalam 24 jam terakhir, termasuk 92 anak-anak.

Sementara itu, lebih dari 80 orang lainnya terbunuh akibat serangan udara Israel.

Pemerintah Israel terus mendapat kecaman internasional atas kebijakan kelaparan yang diterapkan di Gaza.

Para pejabat PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan mengkritik keras metode distribusi bantuan yang justru menciptakan kekacauan dan kekerasan.

Philippe Lazzarini, Kepala Badan Pengungsi PBB (UNRWA) menyatakan bahwa untuk menghentikan kelaparan di Gaza, satu-satunya cara adalah dengan membuka jalan untuk pengiriman bantuan yang lebih efisien dan lebih banyak.

“Jika ada kemauan politik untuk melakukan pengiriman bantuan udara yang mahal dan tidak efektif, harus ada kemauan yang sama untuk membuka jalur perbatasan Gaza, kata Lazzarini seperti yang dikutip oleh Al Jazeera. (YA)

Baca juga : 

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *