Jakarta – Panggung politik Indonesia tengah mengalami pergeseran dramatis. Jika selama ini sorotan publik dan media selalu terpusat di Jakarta, ibu kota negara yang menjadi episentrum kekuasaan, informasi, dan opini, kini muncul sebuah fenomena baru.
Seorang kepala daerah dari tanah Pasundan, Dedi Mulyadi (KDM), berhasil mencuri perhatian publik secara masif, mengguncang dominasi Jakarta yang telah lama bercokol.
Sosok Dedi Mulyadi bak bintang yang bersinar terang di berbagai kanal media. Wajahnya, suaranya, dan potongan-potongan kontennya berseliweran di media sosial, dari TikTok, Instagram, YouTube, Facebook, hingga X (Twitter).
Ia juga tak pernah absen menghiasi layar kaca televisi nasional dan halaman-halaman media daring. Popularitasnya melesat bak roket, didorong oleh ekspos besar-besaran yang terstruktur dan terencana.
Fenomena KDM (Kang Dedi Mulyadi)
Biasanya, kepala daerah yang mampu mencuri perhatian publik secara nasional adalah mereka yang berasal dari Jakarta.
Status ibu kota yang strategis membuat mereka memiliki akses tak terbatas ke media dan pusat-pusat kekuasaan. Namun, Dedi Mulyadi membuktikan bahwa popularitas tidak selalu harus berawal dari Jakarta.
Ia berhasil membangun basis pengikut organik yang sangat kuat, menjadikannya salah satu kepala daerah dengan pengaruh terbesar di Indonesia saat ini.
- Basis Pengikut Organik Dedi Mulyadi:
- 12 juta pengikut di Facebook.
- 7,1 juta pengikut di YouTube.
- 3,7 juta pengikut di Instagram.
- 6,7 juta pengikut di TikTok
Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata dari daya tarik dan pengaruh Dedi Mulyadi di dunia digital.
Ia berhasil membangun koneksi yang kuat dengan para pengikutnya, menciptakan komunitas yang aktif dan terlibat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuatan media sosial mampu mengubah lanskap politik, memberikan panggung bagi suara-suara dari luar Jakarta untuk didengar dan diperhitungkan.
Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio (Hensat) menyebut Dedi Mulyadi mirip dengan Presiden ke-7 Joko Widodo dalam hal pendekatan ke publik.
Keduanya piawai memainkan seni bercerita, baik melalui pidato hingga konten di media sosial yang selalu punya daya tarik dan membuat publik terpikat.
“Kesamaan Jokowi dan Dedi Mulyadi adalah satu, memanfaatkan kesenangan atau hobinya sebagian masyarakat Indonesia, yaitu nonton drama dan sandiwara. Dan sinetron, drama, sandiwara ini dimanfaatkan betul. Jadi selalu ada storytelling yang disampaikan oleh Jokowi dan Dedi Mulyadi,” jelasnya kepada Newslink Indonesia.
Populisme Strategi Utama, Taktik Efektif Rawan kritik
Hensat menilai KDM juga dikenal sebagai figur yang mengedepankan populisme.

“Aksi dan gestur Dedi di hadapan publik seperti sudah dirancang untuk menyasar masyarakat kecil, yang mengedepankan hal-hal populis untuk mendapatkan simpati rakyat,” ujar Hensat yang juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Survey Kedai Kopi
Meski begitu, gaya kepemimpinan seperti KDM bukannya tanpa kritik. Menurutnya, pendekatan populis rawan mengesampingkan visi jangka panjang, atau narasi drama yang berlebihan bisa mengaburkan substansi.
“Formula yang dijalankan Dedi Mulyadi terbukti efektif menjaga dukungan publik, dan kemampuan mereka untuk tetap “nyambung” dengan rakyat menjadi pelajaran tersendiri,” pungkas Hensat.
Namun KDM dinilai kerap tampil lebih santai sehingga menjadi pembeda dari pendahulu-pendahulunya yang cenderung kaku dan birokratis.
“Banyak melakukan perbedaan-perbedaan dengan pejabat sebelumnya. Dari segi penampilan hingga gaya komunikasi, diuntungkan karena pejabat sebelumnya yang lebih birokratis, lebih kaku, ini lebih santai,” kata Hensat.
Fokus Masalah Nyata Ketimbang Proyek Abstrak
Tak kalah penting, Hensat melihat mereka lebih mengutamakan kedekatan yang nyata dengan rakyat, ketimbang proyek-proyek abstrak.
“Baik Jokowi maupun Dedi Mulyadi lebih mengutamakan kedekatan yang lebih real ke rakyat. Jadi program-programnya juga banyak yang terlihat daripada yang sifatnya pembangunan karakter,” tutup Hendri Satrio
Kehadiran Dedi Mulyadi di panggung politik nasional bukan sekadar sensasi sesaat. Ia membawa angin segar, menunjukkan bahwa politik tidak selalu harus kaku dan elitis.
Gaya komunikasinya yang lugas, dekat dengan rakyat, dan penuh dengan konten-konten yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, berhasil menarik perhatian banyak orang.
Ia mampu membangun citra sebagai pemimpin yang merakyat, yang memahami dan peduli dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Dedi Mulyadi telah membuktikan bahwa panggung politik nasional tidak hanya milik Jakarta. Ia berhasil menggeser dominasi ibu kota, menunjukkan bahwa suara-suara dari daerah pun mampu menggema dan diperhitungkan.
Dari tanah Pasundan, ia membawa angin perubahan, mengguncang panggung politik dengan gaya dan pesonanya sendiri. (YA)
Baca juga :