Washington, AS – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah menyatakan niatnya menerima pesawat jet jumbo Boeing 747 senilai $400 juta dari pemerintah Qatar.
Pesawat itu nantinya akan digunakan sebagai pengganti sementara Air Force One. Tawaran ini, meski menggiurkan, justru memicu badai kritik soal etik, hukum, dan keamanan nasional.
Dalam konferensi pers pada Senin (12/05/2025), Presiden Donald Trump menyebut tawaran dari Qatar sebagai “kesempatan luar biasa” yang tak sepatutnya ditolak.
“Saya bukan orang bodoh yang akan menolak pesawat mahal yang diberikan secara gratis,” katanya dikutip oleh Associated Press News.
Untuk meredam kritik, Trump menegaskan jet itu tidak akan digunakan selama menjabat sebagai presiden dan hanya akan dipamerkan di perpustakaan presidensial setelah masa jabatan berakhir. “Jet itu akan langsung dikirim ke perpustakaan setelah saya lengser,” ujarnya.
Kekhawatiran Etik dan Konstitusi
Para pakar hukum menyatakan kekhawatiran serius atas rencana ini. Jessica Levinson dari Loyola Law School kepada media setempat menyebut ini sebagai preseden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Ini belum pernah diuji batasnya dalam sejarah konstitusi kita,” katanya.
Konstitusi AS melarang pejabat menerima “emolumen” atau pemberian dari negara asing tanpa persetujuan Kongres (tercantum dalam Klausul Imbalan Asing Pasal I, Bagian 9 Klausul 8 Konstitusi Amerika Serikat).
Tanggapan Kongres, Masalah Keamanan & Intelijen
Seperti dilansir dari Associated Press News, meski Trump berasal dari Partai Republik, beberapa senator dari partainya juga menyuarakan penolakan, seperti :
- Senator Rand Paul: “Saya menolak. Ini tidak terlihat bagus atau berbau tidak baik.”
- Senator Josh Hawley: “Lebih baik kalau Air Force One tetap buatan Amerika.”
- Senator John Thune: “Saya paham frustrasinya, tapi apakah ini solusi tepat? Saya ragu.”
Empat senator Demokrat dari Komite Hubungan Luar Negeri juga mengeluarkan pernyataan tegas.
“Rencana ini menciptakan konflik kepentingan jelas, membuka celah pengaruh asing, dan merusak kepercayaan publik.”
Jet Qatar yang dijuluki “istana di langit” menimbulkan kekhawatiran karena tidak memiliki sistem keamanan setingkat Air Force One, yaitu :
- Tidak dirancang untuk bertahan dari ledakan nuklir.
- Tidak dilengkapi sistem komunikasi dan anti rudal seperti Air Force One asli.
William Evanina, mantan pejabat kontraintelijen AS menyebut bahwa memeriksa pesawat dari kemungkinan alat mata-mata “bisa memakan waktu bertahun-tahun.”
Latar Belakang Penawaran Qatar
Trump frustrasi dengan proyek pengganti Air Force One oleh Boeing, yang terus tertunda karena kebangkrutan subkontraktor dan kurangnya staf berizin keamanan tinggi.
Qatar yang menjadi tuan rumah pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah, menawarkan jet sebagai solusi sementara.
“Kalau kita bisa bagi-bagi gratis, kita juga bisa menerima gratis,” kata Trump sambil membandingkan hal ini dengan ‘memberi putt’ dalam permainan golf.
Rekam Jejak Trump dan Potensi Konflik Kepentingan
Trump sebelumnya menghadapi gugatan hukum soal emolumen saat masa jabatan pertamanya, karena menerima tamu negara asing di hotel miliknya.
Kini, bisnis keluarganya kembali aktif secara internasional, termasuk proyek real estate di Arab Saudi, Oman, dan terbaru di Qatar.
Rencana Trump menerima jet dari Qatar bukan hanya menimbulkan perdebatan tentang etika kepresidenan, tapi juga membuka wacana serius soal keamanan nasional, konstitusionalitas, dan potensi konflik kepentingan asing dalam politik AS.
Persetujuan dari Kongres menjadi penentu sah atau tidaknya pemberian tersebut. (YA)
Baca juga :