Yogyakarta – Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing menuai kecaman dari komunitas pers nasional. Pasalnya dalam salah satu poin di peraturan itu menyebutkan, jurnalis asing harus mendapat Surat Keterangan Kepolisian jika ingin melakukan kegiatan jurnalistik di lokasi tertentu.
Komunitas pers sebelumnya menyampaikan keberatan, dan menganggap poin tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers. Dosen komunikasi politik dan jurnalisme dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo, S.I.P., M.A., mengatakan aturan tersebut seharusnya di luar tugas dan fungsi institusi Kepolisian Republik Indonesia untuk mengatur kebebasan pers.
“Polisi tidak punya wewenang untuk mengatur kegiatan jurnalistik, saya kira ini menjadi masalah. Selama ini kebijakan pers sudah di wilayah Komdigi dan diawasi oleh Dewan Pers,” tuturnya, Senin (14/4).
Kebijakan over-reaching atau di luar wewenang itu, menurut Wisnu dikhawatirkan dapat melemahkan kebebasan pers di tanah air.
Apalagi klausula tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Berdasarkan informasi yang beredar, aturan tersebut tidak mewajibkan seluruh jurnalis asing yang datang ke Indonesia untuk mendapat izin dari kepolisian, melainkan hanya di lokasi tertentu.
Instansi Kepolisian menyebut alasan penyusunan aturan itu adalah untuk melindungi kedaulatan dan stabilitas negara, serta melindungi jurnalis asing selama melakukan kegiatan jurnalistik di wilayah Indonesia.
Sayangnya, masyarakat juga mempertanyakan proses penerbitan Perpol Nomor 3 Tahun 2025 yang tidak melibatkan komunitas pers nasional dan badan yang berwenang, termasuk Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi jurnalis, dan perusahaan pers.
“Alasan menjaga stabilitas negara ini tidak relevan. Kalau memang ingin menjaga stabilitas, ya diselesaikan konfliknya. Bukan membatasi pemberitaan oleh media asing,” ungkap Wisnu.
Aturan itu dinilai Wisnu bisa dianggap bahwa pemerintah sengaja menutup-nutupi konflik dalam negeri yang akan menimbulkan masalah yang lebih besar, dari liputan media internasional.
Alih-alih menjaga stabilitas negara, aturan tersebut justru berpotensi menunjukkan lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik dalam negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, media asing aktif meliput fenomena sosial-politik dan demokrasi di Indonesia yang tengah mengalami kemunduran.
Sedangkan jurnalis dan media nasional seringkali mendapat kekerasan dan pembatasan, dalam melaksanakan fungsinya sebagai pers.
“Peran media asing sangat signifikan. Apa yang terjadi di Indonesia terhubung dengan dunia global, mereka bisa membantu menyuarakan ketika pers dalam negeri mendapat tekanan,” ujar Wisnu.
Wisnu mendesak agar agar peraturan baru dari kepolisian itu perlu ditinjau ulang, dengan melibatkan Dewan Pers dan komunitas pers. Sebab, sebagai negara yang mengedepankan asas demokrasi dan konstitusi wajib menjamin kebebasan berpendapat, dan pers harus memiliki kebebasan utuh untuk menjalankan fungsinya.
“Adapun upaya-upaya untuk meregulasi pers berkaitan dengan perlindungan dan pengawasan, perlu melibatkan seluruh pihak, baik komunitas pers maupun lembaga yang menaungi kebijakan pers,” pungkasya. (Yud)