PHK Massal dan Ancaman Penjara: Nasib Tragis Jurnalis Asing di Media Amerika

Di Era Presiden Trump Ratusan Jurnalis Asing Kehilangan Pekerjaan, Beberapa Terancam Jika Kembali ke Negara Asal Mereka

Washington, AS – Di sebuah ruang kecil di kawasan Maryland, seorang jurnalis asal Afrika Barat duduk terpaku di depan laptop.

Sejak menerima surat pemutusan kontraknya dari Voice of America (VOA) pekan lalu, ia belum tidur nyenyak. Di ujung masa berlaku Visa J-1-nya, dia tahu satu hal yang pasti: pulang berarti bahaya.

“Kalau saya kembali, mereka bisa menculik atau memenjarakan saya. Di sana, kami yang kerja untuk media asing dianggap mata-mata,” katanya dalam wawancara eksklusif dengan National Public Radio, dengan syarat identitasnya dirahasiakan (NPR, 21 Juni 2025).

Kisahnya bukan satu-satunya. Ia adalah satu dari sekitar 1.400 pegawai U.S. Agency for Global Media (USAGM) yang menerima surat pemecatan massal pada Jumat (20/06/25).

Foto: The Guardian

Dilansir dari NPR, PHK ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump, berdasarkan perintah eksekutif yang ditanda tangani pada Maret 2025 & secara efektif memangkas 85% tenaga kerja lembaga tersebut.

Dipecat di AS, Terancam di Negara Asal

USAGM selama ini menaungi media internasional milik pemerintah AS seperti:

  • Voice of America (VOA)
  • Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL)
  • Radio Free Asia
  • Middle East Broadcasting Networks

Media ini dikenal sebagai corong informasi objektif ke negara-negara dengan rezim otoriter. Tapi kini, ratusan jurnalis asing yang merepresentasikan suara kebebasan pers di negara mereka kehilangan perlindungan.

Banyak dari mereka, terutama warga dari negara-negara dengan kontrol media yang ketat seperti Azerbaijan, Vietnam, Rusia, Serbia, dan Myanmar, kini dalam posisi rentan.

Tanpa status kerja dan dengan visa yang akan kedaluwarsa, pulang ke negara asal bisa berarti penganiayaan, penjara, atau bahkan kematian.

Farid Mehralizada, telah dipenjara di Azerbaijan Sejak Mei 2025 – Foto: VOA

Di hari yang sama saat pengumuman PHK massal, publik dikejutkan oleh vonis sembilan tahun penjara terhadap Jurnalis RFE/RL, Farid Mehralizada di Azerbaijan.

Tuduhan yang dijatuhkan padanya adalah penyelundupan, penggelapan pajak, dan pemalsuan dokumen.

Tapi menurut Stephen Capus, Presiden RFE/RL, tuduhan itu sepenuhnya bermotif politik.

“Kasus Farid adalah contoh tragis dari risiko yang dihadapi jurnalis kami untuk menyampaikan kebenaran yang tidak nyaman,” ujar Capus dikutip dari RFE/RL, 21 Juni 2025.

Mehralizada yang juga seorang ekonom, dalam pernyataan di pengadilan menyatakan dirinya hanya ingin mengedukasi publik Azerbaijan tentang proses ekonomi dan pentingnya kebebasan berekspresi.

Namun, dalam sistem yang menyamakan jurnalisme dengan terorisme, niat baik bisa berubah menjadi vonis.

“Mereka (Jurnalis) Dibutuhkan, Lalu Dibuang”

Data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) menunjukkan adanya peningkatan kasus penahanan, terhadap jurnalis di negara-negara otoriter yang menjadi target siaran USAGM:

Foto: Dok. VOA
  • 3 jurnalis VOA saat ini ditahan di Azerbaijan, Myanmar, dan Vietnam.
  • 3 jurnalis Radio Free Asia juga dipenjara di Vietnam, dengan hukuman hingga 11 tahun.
  • RFE/RL kehilangan beberapa wartawannya di Belarus, Krimea, dan Rusia karena alasan serupa.

Langkah pemutusan hubungan kerja ini bukan hanya memutus mata pencaharian. Ia juga mencoreng kredibilitas AS sebagai pelindung kebebasan pers global.

Jessica Jerreat, Editor Kebebasan Pers VOA menyebut tindakan ini sebagai pengkhianatan moral.

“Mereka diundang ke sini karena keterampilan, bahasa, dan keberanian mereka. Sekarang, mereka dibuang begitu saja. Ini sungguh menyakitkan,” ujarnya kepada NPR.

Jerreat sendiri termasuk salah satu staf yang menerima surat pemutusan kerja, dan kini tengah menggugat kebijakan tersebut bersama beberapa jurnalis lainnya.

Kari Lake-Foto: NBC News

Kebijakan ini tak lepas dari figur Kari Lake, Penasihat Senior Gedung Putih yang menyebut lembaga ini penuh “bias dan pemborosan.”

Ia juga sebelumnya telah memecat lebih dari 500 kontraktor VOA, sebagian besar warga negara asing yang memiliki peran penting dalam pemberitaan lintas bahasa dan budaya.

“Sudah waktunya menghentikan pemborosan uang rakyat untuk lembaga yang gagal,” tulis Lake dalam pernyataan resminya di White House Release, 20/06/25.

Namun, pernyataan ini dibantah keras oleh mantan Direktur VOA, Michael Abramowitz yang kini tengah menjalani cuti administratif.

“Langkah ini akan menghapus peran penting Voice of America dalam menyediakan berita objektif ke masyarakat tertutup. Ini sangat mengkhawatirkan,” tegas Abramowitz (NPR, 2025).

Jurnalis Mencari Suaka

Sementara Gedung Putih tetap pada pendiriannya, para jurnalis asing kini berada di ujung tanduk. Beberapa di antaranya tengah mengajukan suaka, sebagian lagi mencari pekerjaan baru demi memperpanjang visa.

Namun waktu tak berpihak kepada mereka.

“Ini seperti hukuman mati perlahan. Kami dulu adalah bagian dari diplomasi Amerika. Sekarang, kami ditinggalkan,” kata salah satu jurnalis VOA asal Eropa Timur yang juga tidak ingin disebutkan namanya.

Kebijakan media internasional Amerika kini menjadi ujian moral, tentang bagaimana negara adidaya & mengklaim diri sebagai bangsa paling demokratis, memperlakukan jurnalis yang menjadi wajahnya di dunia. (YA)

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *