Gagasan Prabowo, Penjara Koruptor di Pulau Terpencil, Pukat UGM: Koruptor Tak Akan Takut

Yogyakarta – Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan keinginannya untuk membangun penjara khusus bagi koruptor di pulau terpencil. Gagasan ini disampaikan dalam acara peluncuran tunjangan guru ASN daerah di Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta Pusat, Kamis (13/3). Menurut Prabowo, tindakan tegas terhadap koruptor diperlukan karena mereka dianggap merugikan banyak pihak, termasuk guru, dokter, perawat, dan petani.

Presiden menyebut akan mencari pulau yang dikelilingi laut agar jika ada yang mencoba melarikan diri, mereka akan berhadapan dengan hiu.

Menanggapi gagasan ini, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai bahwa membangun penjara khusus di pulau terpencil bukanlah jawaban atas persoalan utama pemberantasan korupsi di Indonesia.

Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menilai bahwa pernyataan Presiden menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai langkah konkret dalam memberantas korupsi.

“Dari pidato Presiden terlihat Presiden tidak paham untuk apa yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, kepada wartawan, Selasa (18/3/2025).

Ia mempertanyakan apakah membangun penjara yang sulit diakses benar-benar bisa memberikan efek jera bagi para koruptor.

Zaenur menekankan bahwa korupsi adalah kejahatan dengan motif utama ekonomi, sehingga hukuman badan saja tidak cukup untuk menekan angka korupsi. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang mampu memiskinkan koruptor melalui mekanisme asset recovery dan denda tinggi.

Menurut Zaenur, perbaikan regulasi harus menjadi prioritas dalam pemberantasan korupsi. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) agar memungkinkan pengusutan kasus korupsi yang berkaitan dengan pengayaan tidak wajar. Selain itu, pengenaan denda tinggi terhadap koruptor juga harus diterapkan untuk memberikan efek jera yang lebih kuat.

Ia juga menyoroti pentingnya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar aset koruptor yang kabur ke luar negeri dapat disita oleh negara.

“Pertama, dengan merampas aset kejahatan untuk asset recovery dan kedua adalah pengenaan denda yang tinggi,” jelas Zaenur.

Tanpa kebijakan yang efektif dalam pemulihan aset, menurutnya, koruptor masih bisa menikmati hasil kejahatannya meskipun telah menjalani hukuman di penjara.

Selain perbaikan regulasi, Pukat UGM menilai reformasi aparat penegak hukum juga harus menjadi perhatian utama. Zaenur menegaskan bahwa Indonesia tidak akan bisa memberantas korupsi jika lembaga penegak hukumnya sendiri masih bermasalah. Oleh karena itu, ia mendorong agar independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikembalikan melalui revisi Undang-Undang KPK, serta dilakukan reformasi terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

Pukat UGM menilai bahwa tanpa langkah-langkah konkret seperti perbaikan regulasi dan reformasi aparat penegak hukum, gagasan membangun penjara khusus bagi koruptor hanya akan menjadi wacana bombastis yang sulit diukur efektivitasnya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. (Ep)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *