Pak Lah Wafat: Sang Pemimpin Lembut Membuka Ruang Demokrasi Malaysia

Mantan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi Tutup Usia

Kuala Lumpur, Malaysia — Mantan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, atau yang akrab disapa Pak Lah, meninggal dunia dalam usia 85 tahun pada Senin (14/4) pukul 19.10 waktu setempat.

Ia mengembuskan napas terakhir di Institut Jantung Negara Kuala Lumpur, setelah sebelumnya dirawat akibat gangguan pernapasan.

Pak Lah diketahui sebelumnya menderita penyakit jantung dan pneumotoraks spontan—suatu kondisi kolaps paru-paru yang muncul tanpa penyebab jelas.

Sejak 2022, kondisi kesehatannya makin memburuk setelah keluarga mengungkap bahwa beliau mengidap dementia progresif, yang membuatnya kesulitan berbicara dan tak lagi mengenali orang-orang terdekat, termasuk keluarganya.

Abdullah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-5 Malaysia dari 2003 hingga 2009. Ia menggantikan Mahathir Mohamad dengan janji perubahan: memberantas korupsi, membuka kebebasan berekspresi, dan membawa Islam moderat sebagai nilai utama kepemimpinannya. Namun, euforia itu tak bertahan lama.

Pemimpin Moderat Yang Memberi Ruang Nafas Demokrasi

Abdullah dikenal luas sebagai sosok yang lembut, tenang, dan religius. Kariernya di pemerintahan dan politik dimulai sejak era awal kemerdekaan Malaysia.

Ia sempat menjabat berbagai posisi menteri, mulai dari Menteri Pertahanan, Luar Negeri, hingga akhirnya dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri dan sukses menggantikan Mahathir pada 2003.

Masa awal kepemimpinannya membawa harapan baru bagi rakyat Malaysia. Ia membuka ruang bagi kebebasan pers, memperluas kritik terhadap pemerintah, dan menampilkan citra pemimpin Islam yang sejuk.

Pada Pemilu 2004, koalisi Barisan Nasional yang dipimpinnya meraih kemenangan besar—sebuah sinyal kuat bahwa rakyat menyambut gaya kepemimpinan barunya.

Menurut pengamat politik dari Institute of International Affairs Singapura, Oh Ei Sun, “Di bawah Abdullah, Malaysia mengalami transisi dari pemerintahan semi-otoriter menuju sistem yang lebih plural dan terbuka.”

Tantangan, Kritik, dan Kejatuhan

Namun, seiring waktu, ketidak-mampuan Abdullah dalam menindak-lanjuti janji-janjinya terutama dalam reformasi hukum dan pemberantasan korupsi—menjadi titik balik popularitasnya.

Ia dituding terlalu lemah, terlalu banyak dikelilingi oleh penasihat muda, termasuk menantunya sendiri, Khairy Jamaluddin, yang dianggap terlalu berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Ia juga dikritik karena merangkap posisi sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Keamanan Dalam Negeri, serta beberapa kali tertangkap kamera tertidur saat rapat resmi.

Abdullah mengaku mengalami gangguan tidur, namun hal ini memperburuk persepsi publik terhadap gaya kepemimpinannya.

Hubungannya dengan Mahathir memburuk setelah ia membatalkan sejumlah proyek besar sang pendahulu, termasuk rencana pembangunan jembatan penghubung ke Singapura. Mahathir, yang semula menjadi mentornya, berubah menjadi lawan politik terberat Abdullah.

Pada 2007, serangkaian aksi protes besar mengguncang pemerintahannya, termasuk tuntutan reformasi pemilu, kenaikan harga BBM, dan keadilan bagi etnis minoritas.

Situasi itu memuncak dalam Pemilu 2008, di mana koalisinya mengalami kekalahan besar. Kehilangan dua pertiga kursi parlemen dan lima negara bagian, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah politik Malaysia.

Tekanan dari internal partai, terutama UMNO, membuatnya menyerah dan meletakan jabatan kepada wakilnya, Najib Razak, pada April 2009.

Kehidupan Pribadi dan Warisan Politik

Abdullah lahir di Penang pada 26 November 1939, dari keluarga religius. Kakeknya adalah mufti pertama Penang. Ia meraih gelar sarjana dalam bidang Studi Islam dari Universitas Malaya, kemudian berkarier di sektor pemerintahan sebelum akhirnya masuk ke politik.

Pada 2005, istri pertamanya, Endon Mahmood, wafat akibat kanker payudara. Dua tahun kemudian, ia menikahi Jeanne Abdullah, yang sebelumnya adalah istri dari saudara Endon. Ia meninggalkan dua anak dan tujuh cucu.

Meski banyak dikritik sebagai pemimpin lemah, warisan Abdullah tak bisa dihapus begitu saja dari lembar sejarah Malaysia. Ia mungkin bukan tokoh besar dalam arti kekuasaan, namun ia membuka celah penting bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi yang sebelumnya terkungkung di bawah bayang-bayang otoritarianisme. (YA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *