Di Hari Kebebasan Pers Internasional,Trump Tutup VOA

Perintah Eksekutif Trump Menghentikan Siaran Voice of America & Potong Dana Untuk Media Global

Washington, AS – Sebagaian dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional pada 3 Mei 2025.

Tapi Amerika Serikat justru fokus pada  keputusan eksekutif yang ditandatangani oleh Donald Trump,  hingga memicu gelombang kejut di panggung media global.

Dalam perintah tersebut, Presiden AS Donald Trump meminta pembubaran US Agency for Global Media (USAGM) badan federal yang mendanai Voice of America (VOA) dan sejumlah media independen internasional lainnya.

Langkah ini menghentikan siaran ke lebih dari 425 juta orang di 49 bahasa, menutup salah satu saluran informasi bebas paling bersejarah di dunia.

VOA, yang didirikan pada 1942 untuk melawan propaganda Nazi, kini dibungkam oleh negeri yang dulu menjadi simbol kebebasan pers.

Dan yang mengejutkan, keputusan ini justru disambut dengan tepuk tangan dari berbagai rezim otoriter dunia.

Di Moskow, Pemimpin Redaksi RT yang pro-Kremlin, Margarita Simonyan menyebut langkah Trump sebagai “keputusan luar biasa.”

 

Global Times, corong media pemerintah Tiongkok, menyindir bahwa “Amerika membuang VOA seperti kain lap kotor, mengakhiri racun propaganda-nya.” Bahkan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev yang kerap dituduh membungkam oposisi, menyebut keputusan itu “sangat menjanjikan”.

Baca juga : Media Ditutup, Ratusan Jurnalis Kehilangan Pekerjaan!

Selain VOA, Trump Juga Menekan Media Lain

  • Menyeret CBS News dan ABC ke pengadilan.
  • Memblokir akses kantor berita Associated Press ke Gedung Putih.
  • Memotong dana untuk NPR serta PBS (lembaga-lembaga yang ia labeli sebagai monster kiri radikal).
  • Menghentikan pendanaan untuk Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL)—media yang dulu memainkan peran penting di era Perang Dingin, khususnya di Belarus, Rusia, dan Ukraina.
  • Alhurra, saluran berita berbahasa Arab yang juga didanai AS, kehilangan banyak staf.

Di saat yang sama, tekanan terhadap jurnalis kian meningkat di berbagai penjuru dunia. Di Turki, wartawan asing dideportasi.

Di Serbia, kebebasan media berada di ambang krisis. Mantan Pemimpin Redaksi Washington Post, Marty Baron mengatakan “Dulu, AS akan memberi tekanan kepada negara-negara yang membungkam kebebasan berekspresi. Sekarang, itu tak lagi terjadi.”

Menurut Baron, keputusan Trump telah memberi lampu hijau bagi para pemimpin otoriter untuk lebih agresif menekan pers.

“Ini adalah sinyal bahwa tak akan ada tekanan dari AS. Dan ini telah memberanikan banyak rezim lain untuk bertindak lebih jauh,” ujarnya.

Steve Herman, Koresponden Nasional Senior VOA, menggambarkan pembubaran ini sebagai “darurat konstitusional.”

Ia bahkan menerima laporan dari mantan pendengar bahwa frekuensi VOA kini dipakai oleh siaran pemerintah Tiongkok.

Meskipun seorang hakim federal sempat memblokir rencana pembubaran tersebut, pemerintah AS tetap mengajukan banding. Di sisi lain, Uni Eropa belum mampu menutup kekosongan pendanaan yang ditinggalkan AS.

Ironisnya, krisis ini muncul di saat layanan seperti BBC World Service juga mengalami tekanan finansial.

Jonathan Munro, Direktur Global BBC News menyebut bahwa “tiga perempat negara di dunia tidak memiliki media bebas, dan situasinya semakin memburuk.”

Munro juga menyoroti peningkatan disinformasi yang kini menjangkau masyarakat 24 jam sehari melalui ponsel.

Sementara itu, Rusia dan Tiongkok dengan cepat mengisi kekosongan ruang informasi di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.

Baron menutup dengan peringatan tegas: “Trump ahli dalam menghancurkan, dan ini salah satu kehancuran terbesarnya, menghancurkan suara media independen.”(YA)

Baca juga :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *