Seoul, Korea Selatan – Dari lorong kemiskinan ke pucuk kekuasaan, Lee Jae-myung resmi dilantik sebagai Presiden Korea Selatan, pada Rabu (04/06/25), dalam sebuah momen bersejarah yang menandai perubahan besar di tengah krisis politik dan ekonomi.
Kemenangan Lee yang mendadak dalam pemilu cepat, usai lengsernya Yoon Suk Yeol karena upaya penerapan darurat militer membuka babak baru bagi masa depan Semenanjung Korea.
Seperti dilansir dari AP News, dalam pidato perdananya di Majelis Nasional, Presiden Korea Selatan, Lee Jae-myung menggambarkan arah kebijakan luar negerinya yang menyeimbangkan kekuatan militer dan diplomasi terbuka.
Kembali Buka Komunikasi dengan Korea Utara
“Kami akan membuka saluran komunikasi dengan Korea Utara, dan membangun perdamaian melalui dialog dan kerja sama,” Lee Jae-myung, Presiden Korea Selatan.
Lee menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan melonggarkan sikap terhadap ancaman nuklir Korea Utara, namun tetap berupaya membuka kembali pembicaraan yang terhenti sejak 2019.
Ia menyebut “deterrence kuat” atau pencegahan efektif berbasis aliansi militer dengan Amerika Serikat sebagai tulang punggung keamanan nasionalnya.
Sejak 2019, Korea Utara membekukan semua kontak formal dengan Korea Selatan, dan bahkan dilaporkan memperkuat kerjasama militer dengan Rusia, termasuk dalam perang Ukraina.
Memperkuat Poros Seoul-Washington-Tokyo
Dalam pidatonya, Lee juga menekankan pentingnya kerjasama tiga arah antara Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang, serta menyebutnya sebagai “landasan utama kebijakan luar negeri.”
“Melalui diplomasi pragmatis berbasis kepentingan nasional, kita akan mengubah krisis global menjadi peluang,” ujar Lee dikutip AP News.
- Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri menyatakan komitmennya terhadap “aliansi baja” dengan Seoul.
- PM Jepang Shigeru Ishiba mengatakan ingin segera menggelar KTT bilateral dengan Lee demi mempererat kerja sama publik dan ekonomi.
Menurut Analis Keamanan Asia Timur dari Carnegie Endowment for International Peace, Ankit Panda, tantangan terbesar Lee adalah apakah dia mampu bersikap lebih moderat dalam isu-isu strategis.
“Kita lihat apakah tekanan jabatan akan membuat Lee Jae-myung lebih ke tengah, setidaknya dalam isu aliansi dan keamanan nasional,” kata Panda kepada AP News.
Ancaman Ekonomi dan Geopolitik
Lee menyebut ekonomi domestik yang melemah sebagai prioritas utama. Ia akan membentuk gugus tugas darurat untuk memerangi ancaman resesi dan mendorong belanja negara.
ia juga menyerukan persatuan nasional pasca keterpecahan, akibat insiden martial law oleh Presiden Yoon. “Ini adalah pemberontakan yang merampas kedaulatan rakyat dengan senjata,” tegas Lee tentang tindakan Yoon.
Saat ini, Yoon dan pejabat tinggi militer serta polisi sedang diadili atas tuduhan pemberontakan. Meski demikian, Lee menolak anggapan bahwa ini akan menjadi “balas dendam politik.”
Lee sendiri menghadapi lima tuduhan hukum, namun pasal konstitusi memberi kekebalan terhadap presiden yang sedang menjabat, sehingga proses pengadilan kemungkinan tertunda selama lima tahun masa jabatannya.
Di akhir pidatonya, Lee menegaskan kembali misinya untuk mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi, khususnya antara wilayah ibu kota Seoul dan daerah-daerah lain yang terpinggirkan.
“Polarisasi akibat ketimpangan kini menghambat pertumbuhan lebih lanjut,” ujar Lee.
Pelantikan Lee Jae-myung menandai era baru Korea Selatan yang penuh tantangan, dari nuklir Korea Utara hingga resesi ekonomi global.
Tetapi, dengan latar belakang yang kuat sebagai figur rakyat dan gaya kepemimpinan yang tegas namun terbuka, banyak mata kini tertuju padanya, akankah ia membawa perubahan yang nyata ? (YA)
Baca juga :