Kekerasan Seksual Guncang Dunia Medis!

RSA UGM, Yogyakarta, Tegaskan Komitmen Perlindungan Pasien

Yogyakarta – Dunia medis Indonesia kembali diguncang oleh deretan kasus dugaan kekerasan seksual, yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien.

Setelah kasus heboh yang melibatkan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di sebuah rumah sakit di Bandung, kini insiden serupa kembali muncul.

Kali ini terjadi di sebuah rumah sakit swasta di Malang, Jawa Timur dan di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat. Bahkan sebelumnya seorang Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), juga terbukti melakukan kekerasan seksual.

Rentetan kasus ini tidak hanya memicu kemarahan publik, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius, seberapa aman ruang-ruang layanan kesehatan kita dari kekerasan berbasis kuasa ?

Padahal, seharusnya fasilitas kesehatan menjadi tempat yang menjunjung tinggi empati, perlindungan, dan etika profesional.

Menanggapi kekhawatiran yang semakin meluas, Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) memberikan penjelasan tegas mengenai standar pendidikan, dan pengawasan ketat terhadap calon dokter spesialis di lingkungan mereka.

Baca juga : Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual, UGM Pecat Guru Besar Fakultas Farmasi

Direktur RSA UGM, Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B. Subsp. Onk (K) menegaskan bahwa proses seleksi calon dokter spesialis di institusinya dilakukan dengan ketat dan komprehensif. Tidak hanya menguji aspek akademik, tetapi juga menyelidiki kepribadian dan integritas moral peserta.

“Seleksi itu tidak berhenti pada nilai akademik. Setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti MMPI dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” ujar Dr. Darwito.

Etika profesi, lanjutnya, bukan hanya materi kuliah sesaat. Nilai-nilai moral dan profesionalisme harus dipupuk terus-menerus, sejak awal pendidikan hingga praktik mandiri. “Ini adalah proses long life learning,” tegasnya.

RSA UGM menerapkan sistem pendidikan klinis berlapis. Para residen menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau, mulai dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya.

“Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” jelas Dr. Darwito.

Penilaian terhadap komunikasi dan etika juga menjadi indikator utama, sejajar dengan penilaian kompetensi klinis.

Baca juga : Viral Video Pelecehan Pasien di Garut, Kini Sang Dokter Resmi Tersangka

RSA UGM Terapkan Langkah Preventif

Guna menjawab kekhawatiran publik atas potensi kekerasan seksual, RSA UGM menerapkan berbagai langkah preventif.

Meskipun belum memiliki pelatihan khusus tentang kekerasan seksual, materi tersebut telah dimasukkan dalam orientasi awal bagi peserta PPDS, bersama dengan isu bullying dan penyalahgunaan wewenang.

Setiap peserta juga menandatangani kontrak perilaku yang melarang keras segala bentuk pelanggaran etika dan kekerasan. Pelanggaran kontrak ini dapat berujung pada sanksi akademik berat, termasuk pengembalian ke fakultas.

Selain itu, CCTV telah dipasang di titik-titik strategis untuk memastikan seluruh aktivitas bisa diawasi dengan transparan.

RSA UGM juga menerapkan sistem jaga terpisah antara residen pria dan wanita, demi meminimalkan risiko dan menjaga kenyamanan semua pihak.

“Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutur Dr. Darwito.

Menanggapi kasus yang terjadi di luar lingkungan institusi, RSA UGM bersikap tegas namun proporsional. Dr. Darwito menekankan bahwa jika pelanggaran terjadi dalam konteks pendidikan dan di dalam rumah sakit, maka institusi akan mengambil tindakan akademik.

“Kalau itu pidana murni, ya itu urusan negara. Tapi kalau terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, kami bisa beri sanksi akademik, termasuk mengeluarkan.

Institusi wajib bertindak jika TKP-nya di sini. Tapi kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit,” katanya.

Sebagai institusi pendidikan, RSA UGM menegaskan bahwa mereka akan terus memegang teguh tiga prinsip utama, yaitu etika, norma, dan hukum.

Dengan sistem pengawasan berlapis, pendidik yang berintegritas, dan prosedur yang ketat, RSA UGM berkomitmen untuk mencetak dokter yang tidak hanya kompeten, tetapi juga bermartabat.

“Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal,” pungkas Dr. Darwito. (Yud)

Baca juga : Modus USG Gratis, Dokter Kandungan di Garut Lecehkan Pasien

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *