New York, AS – Gelombang demonstrasi besar kembali mengguncang Amerika Serikat pada akhir pekan ini. Puluhan ribu warga memadati jalanan di berbagai kota besar seperti Washington DC, New York, dan Chicago, dalam aksi protes yang disebut sebagai gerakan perlindungan demokrasi.
Ini adalah kali kedua dalam bulan ini masyarakat turun ke jalan, untuk menyuarakan penolakan terhadap agenda pemerintahan Donald Trump yang dinilai otoriter dan merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Lebih dari 400 unjuk rasa direncanakan secara serentak di seluruh negara bagian AS, di bawah koordinasi gerakan 50501, sebuah inisiatif akar rumput yang menyerukan 50 protes di 50 negara bagian sebagai satu gerakan nasional.
Tak hanya di dalam negeri, protes juga meluas ke berbagai kota di luar negeri seperti Dublin, Irlandia, menunjukkan skala global dari keresahan terhadap arah kebijakan Trump.
Seruan untuk melibatkan 11 juta peserta, atau sekitar 3,5 persen dari populasi AS, menjadi sinyal kuat bahwa gelombang perlawanan rakyat ini bukan sekadar simbolik, melainkan diniatkan sebagai gerakan nyata menuju perubahan melalui kotak suara.
“Ini saat genting bagi kebebasan di Amerika. Terkadang, kita harus berjuang untuk kebebasan itu,” kata Thomas Bassford (80), pensiunan tukang batu dari Massachusetts, kepada CBS News saat bergabung dalam demonstrasi yang juga mengenang 250 tahun Perang Revolusi Amerika.
Di berbagai lokasi, para peserta membawa berbagai pesan kuat seperti “Giliran Kami Melawan Tirani” dan “Fasisme Sedang Datang”, mengekspresikan ketakutan akan kembalinya gaya pemerintahan otoriter di negara yang menjunjung tinggi demokrasi.
Sara Harvey, seorang nenek dari Jacksonville, Florida mengungkapkan kekhawatirannya: “Saya takut untuk cucu-cucu saya. Saya lakukan ini demi mereka.”
Gerakan ini bukan baru. Sebelumnya, kelompok yang sama telah menggelar aksi seperti “No Kings Day” pada Hari Presiden, sebagai respons terhadap unggahan Trump yang menyebut dirinya sebagai “raja”.
Kini, mereka menyatukan spektrum luas warga—dari Demokrat, independen, hingga sebagian Republik yang percaya pada pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat, bukan elite atau kepentingan modal.
Heather Dunn, juru bicara 50501 menyebut bahwa aksi ini bertujuan untuk “melindungi demokrasi dari bangkitnya otoritarianisme di bawah pemerintahan Trump.” Ia menegaskan gerakan ini non-partisan, damai, dan pro-konstitusi.
Baca juga : Protes Tuntut Trump & Musk Mundur Dari Jabatan!
Ancaman Kebebasan Pers
Kebebasan pers juga menjadi salah satu sorotan utama. Trump dituding menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk membungkam media yang mengkritik, melalui pelarangan akses, gugatan hukum, hingga memilih sendiri wartawan yang diizinkan meliputnya.
Fenomena ini, menurut banyak pengamat, memperlihatkan kemiripan dengan strategi otoriter yang juga diterapkan pemimpin populis lain di dunia seperti Viktor Orbán di Hungaria.
Laporan dari media independen The Guardian menekankan bahwa kondisi global saat ini sangat menantang bagi kebebasan pers.
Di tengah tekanan ekonomi dan politik, independensi media menjadi penentu utama keberlangsungan demokrasi. Organisasi media yang tidak tunduk pada oligarki atau pemilik modal besar menjadi benteng terakhir melawan penyimpangan kekuasaan.
Seperti dikatakan oleh Steven Levitsky, ilmuwan politik dari Universitas Harvard, “Perlawanan terhadap pemerintahan otoriter harus dilakukan lewat banyak saluran—melalui pengadilan, pemilu, dan aksi massa. Demonstrasi bisa membentuk narasi media yang sangat krusial.”
Sementara itu, solidaritas juga tampak di sekitar Monumen Washington, di mana massa menyuarakan dukungan untuk Kilmar Ábrego García, seorang pria asal El Salvador yang dideportasi secara keliru dari Maryland. (YA)
Baca juga :