Abu Dhabi, UEA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump memanfaatkan lawatan besar pertamanya ke luar negeri dalam masa jabatan keduanya, untuk menawarkan visi stabilitas global.
Ia menampilkan hubungan Amerika dengan negara-negara teluk yang kaya, sebagai model bagi negara-negara yang selama ini menjadi musuh AS.
Dalam kunjungan empat harinya ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab yang berakhir Jumat (16/05/25), Trump menekankan pendekatan transaksional dalam hubungan luar negeri.
Ia disambut hangat oleh para penguasa otoriter dengan serangkaian kunjungan kenegaraan mewah, yang sarat dengan penekanan pada kemitraan ekonomi dan keamanan.
Kunjungan itu berlangsung di tengah berbagai konflik global yang masih membara, termasuk di Gaza dan Ukraina, yang menyoroti keterbatasan pengaruh Trump.
Berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh gedung putih, Trump bersikeras bahwa dirinya tengah membuka lembaran baru, meninggalkan kebijakan intervensi Amerika.
Ia juga mengambil langkah mengejutkan dengan mengakui pemerintahan baru di Suriah, dan mendesak Iran untuk segera kembali ke meja perundingan nuklir sebelum terlambat.

Menikmati Kemewahan Teluk, Bungkam Soal HAM
Berbeda dengan kunjungan presiden-presiden AS sebelumnya ke Timur Tengah yang biasanya disertai seruan untuk memperbaiki catatan HAM, Trump memilih diam.
Ia justru merayakan kesepakatan bisnis dan memuji kekayaan para penguasa Teluk. Trump mengagumi istana marmer berlapis emas para pemimpin teluk, dan menyebutnya “sempurna” dan “sangat sulit dibeli.”
Ia memuji keindahan langit-langit Riyadh yang penuh kemegahan, dan mengeluh tentang pesawat kepresidenan Air Force One yang menurutnya “jauh lebih sederhana,” seperti dikutip BBC News
Dalam pidatonya di konferensi bisnis VIP di Riyadh, Arab Saudi, Trump secara terang-terangan menjauhkan diri dari pendekatan pemerintahan sebelumnya, yang katanya “Datang dengan pesawat mewah memberikan ceramah tentang bagaimana anda harus hidup dan memerintah.”
Bagi para aktivis HAM, ini adalah sinyal non-intervensi.
“Ini adalah dukungan mutlak terhadap monarki absolut,” kata Aktivis Saudi, Abdullah Alaoudh kepada wartawan BBC News.
Abdullah adalah aktivis Saudi yang tinggal di pengasingan, dan merupakan putra dari ulama ternama yang kini dipenjara di Arab Saudi.
Beberapa aktivis mengatakan bahwa pejabat Trump sempat memberikan jaminan secara pribadi bahwa mereka tetap memperjuangkan nasib warga AS dan aktivis HAM yang ditahan.
Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tommy Pigott menolak mengomentari apakah isu-isu HAM tersebut dibahas secara langsung oleh Trump dengan para pemimpin Teluk.
Trump dan “Matematika Kabur”
Dalam berbagai kesempatan selama lawatan ini, Trump kerap memberikan klaim bombastis.
“Kita telah menarik investasi triliunan dolar untuk negara kita,” katanya menjelang mendarat di Qatar. Ia menyebut angka $ 4 Triliun, dua kali lipat dari total Produk Domestik Bruto gabungan Arab Saudi, Qatar, dan UEA.
Fakta menunjukkan bahwa angka-angka tersebut adalah prediksi jangka panjang, bukan investasi langsung.
Meski begitu, Qatar memang memesan pesawat Boeing senilai $ 96 Miliar, pesanan terbesar dalam sejarah untuk jenis 787 dan 777X.
Trump juga menyerang rekor ekonomi Presiden Joe Biden, dan menyebut masa pemerintahan sebelumnya sebagai “masa-masa kemiskinan ekonomi.”
Padahal, ekonomi AS tumbuh 2,8% tahun lalu dan mengalami kontraksi 0,3% pada kuartal pertama tahun ini.
Konflik Gaza dan Ukraina Tak Terselesaikan
Trump awalnya berharap kunjungan ini bisa membawa kemajuan dalam penyelesaian konflik di Gaza dan Ukraina. Namun kenyataannya, kedua konflik tersebut tidak banyak disentuh selama kunjungan.
Trump bahkan sempat menyatakan bahwa konflik tersebut tidak akan terjadi jika dirinya terpilih kembali pada 2020.
Di Gaza, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran sementara Trump masih berada di wilayah tersebut. Ia kembali mengangkat wacana “zona kebebasan” di Gaza, gagasan yang ditolak luas oleh Palestina dan dunia Arab.
Namun pada hari terakhir kunjungannya, Trump akhirnya mengakui krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza. “Banyak orang kelaparan, banyak hal buruk terjadi,” katanya kepada wartawan di Abu Dhabi.
Isu Etika Mengiringi Lawatan Trump
Lawatan Trump ke Timur Tengah juga tak luput dari kritik terkait konflik kepentingan. Ia dituding mempengaruhi kebijakan luar negeri AS, saat bisnis keluarganya berkembang di kawasan itu.
Trump membela diri dengan menyebut menerima pesawat mewah senilai $ 400 Juta dari Qatar, untuk dijadikan Air Force One adalah langkah cerdas.
“Mengapa militer kita dan para pembayar pajak harus mengeluarkan ratusan juta dolar, jika kita bisa mendapatkannya GRATIS?” tulis Trump di media sosial miliknya.
Trump juga menghindari pertanyaan tentang keterlibatan dana investasi milik negara di Abu Dhabi, yang menggunakan stablecoin terafiliasi keluarga Trump dalam investasi $ 2 Miliar di bursa kripto terbesar dunia. (YA)
Baca juga :